Selasa, 30 Mei 2017

Kepada Angin, Tertanda, Perempuan Dengan Karma Yang Belum Lunas

Kepada Angin,
Tertanda,
Perempuan Dengan Karma Yang Belum Lunas

"Sandi Yuda" karya penulis


Ada cerita tentang orang-orang yang lahir kembali ke dunia dengan membawa karma yang belum lunas, urusan yang belum selesai, utang yang belum terbayarkan. Saya adalah satu diantara orang-orang itu. Saya lahir dengan membawa sebuah beban – atau titipan? – yang baru saya sadari setelah lebih dari seperempat abad hidup di dunia. Saya terikat pada sesuatu, entah apa, yang membuat saya berakhir di pusaran yang sama : bayangan tentang dia yang kemudian saya sebut Angin.

Saya bertemu dengannya lebih dari satu dekade lalu. Pertemuan yang sesungguhnya tak bisa saya ingat dengan jelas tapi berhasil membekas. Pertemuan yang kemudian berlalu begitu saja, bertahun-tahun, tanpa kelanjutan dan kejelasan. Meski jalur komunikasi saya dan dia tidak pernah betul-betul hilang, saya melupakan nyaris semua tentang dia. Nyaris, karena ketika saya sepenuhnya lupa, dia selalu datang mengingatkan saya. Angin datang sebagai bayangan dalam mimpi, menampakkan sosok yang terluka dan sendiri. Mimpi yang selalu menggoreskan rasa sakit ketika saya terbangun dari tidur. Begitu terus, berkali-kali, dengan pola intensitas yang tak bisa saya tebak.

Ada masa dimana saya tidak mendapatkan mimpi tentang Angin samasekali dalam rentang waktu yang cukup lama. Sekeras apa pun saya memikirkannya, saya tidak bisa melihat Angin dalam mimpi saya. Lalu ada masa dimana Angin tiba-tiba datang, bahkan ketika saya baru sesaat tertidur dan mustahil untuk bermimpi. Namun ada satu hal yang tak pernah berubah. Sosok angin selalu datang dengan membawa rasa dingin yang sama, kesendirian yang beku. Bayangan hitam yang selalu mengganggu.

Pernah suatu ketika saya melihat Angin dalam penderitaan yang sangat. Di satu ruangan gelap dan dingin, Angin tertunduk dengan kesedihan mendalam. Dia sendiri. Bahkan tak ada cukup cahaya untuk bisa membuatnya terlihat dengan jelas. Hati saya rasanya seperti tersayat. Saya menangis dalam tidur lalu bangun dengan nafas tercekat. Butuh waktu beberapa lama untuk menenangkan diri saya. Mengatur nafas pelan dan panjang sampai jantung saya berdetak dengan normal. Saya mengalami sakit kepala yang sangat selama beberapa menit. Mimpi yang paling menyakitkan yang pernah saya alami.
“Cuma mimpi”, kata saya dalam hati.
“Tak akan terjadi apa-apa padanya, semua pasti baik-baik saja”, lanjut saya.

Tapi hati kecil saya berbisik pelan, “Dasar pembohong…”

Dan benar saja. Saya kemudian mengetahui sesuatu terjadi pada Angin, benar-benar terjadi pada dia di dunia nyata. Sesuatu yang mungkin cukup untuk melemparnya ke titik rendah dalam hidupnya.

Saya kemudian mulai curiga, mimpi-mimpi yang saya lihat tentang Angin mungkin bukan sebatas ilusi. Mimpi-mimpi itu tidak datang sebagai bentuk obsesi atau refleksi saya terhadap dia. Mimpi-mimpi itu mungkin sebuah kode, sebuah pesan yang tak mampu saya baca. Satu yang saya sadari, ketika saya memimpikan Angin, ada sesuatu yang sedang, akan, atau sudah terjadi pada dia. Sesuatu yang besar yang cukup untuk membuat saya menerima pesan, “Hei kamu, Angin sedang mengalami hal “penting” dalam hidupnya.

Saya bicara pada seorang shaman. Perempuan tua berambut gimbal putih yang kurus dan tak pernah putus dari rokok. Saya menceritakan semua hal yang saya alami dan kaitannya dengan Angin. Saya mengalami mimpi-mimpi itu selama lebih dari sepuluh tahun. Satu dekade lebih adalah waktu yang terlalu lama untuk hal sepele. Pada shaman itu saya bertanya, bukan tentang makna mimpi-mimpi saya. Saya bertanya, siapa saya dan siapa dia. Kenapa saya mendapatkan pesan tentang Angin, dia yang bahkan bukan siapa-siapa bagi saya.

Shaman itu tertawa.
“Orang asing katamu?”
“Iya, orang asing. Saya rasa kami adalah dua bintang dengan jalur berbeda yang kebetulan berpapasan. Mungkin frekuensi kami sama, makanya saya bisa mendapat pesan yang seharusnya tidak saya terima. Semacam menangkap gelombang yang kebetulan melintas?,”
“Ah...”
Shaman itu tersenyum. Dia menghisap rokoknya, mengepulkan asap dengan nafas panjang-panjang. “Dengar, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, Sayang,” katanya mulai menjelaskan. “Kamu tidak kebetulan kenal dengan saya. Kamu tidak kebetulan menceritakan ini kepada saya. Saya tidak kebetulan harus menjelaskan ini padamu. Bagaimana kalau semua sudah ditakdirkan? Atau… memang sepantasnya harus terjadi?”
Saya menghela nafas. Jawaban shaman ini bukan tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Sejatinya jawabannya membenarkan kecurigaan saya, bahwa apa yang saya duga tentang mimpi-mimpi saya benar adanya.
“Jadi menurutmu, apa yang sedang terjadi?” tanya saya.
“Saya sudah bisa merasakan bahwa kalian, kamu dan dia, punya satu hubungan kuat. Mungkin hubungan itu tidak bisa kamu rasakan sekarang, di masa kini. Tapi jejaknya seharusnya masih bisa kamu rasakan.”
Saya mengernyit, “Jejak?”
“Iya. Jejak. Bekas. Sisa. Mimpi-mimpimu itu, bukankah kamu sudah tahu kalau perasaanmu pada dia lebih dari sekedar perasaan pada orang asing? Bahkan sejak awal melihatnya kamu sudah “jatuh cinta” bukan? Sesuatu menggerakkan kamu untuk memilihnya. Sesuatu yang berasal dari masa lalu. Jejak itu!”
Saya menghela nafas, shaman itu tersenyum. Rasa-rasanya senyum itu lebih seperti intimidasi bagi saya.
“Saya tak perlu bicara banyak,” katanya. “Buat apa saya menjelaskan panjang lebar pada orang yang sebenarnya sudah tahu tapi pura-pura tidak paham. Kamu bicara pada saya bukan sebagai orang yang mencari jawaban. Jawaban itu sudah ada padamu. Kamu tahu. Kamu cuma sedang berusaha mencari keyakinan atas apa yang kamu ketahui.” Katanya.
Wajah saya mengeras sementara senyum di wajah Si Shaman berubah menjadi seringai. Dia kemudian mematikan rokok yang telah pendek, mengambil yang baru dari dalam kotak lalu menyalakannya lagi.
“Saya tidak tahu apa hubungan saya dengan dia,” kata saya.
“Hubungan kamu dengan dia? Hmm… saya tak akan ragu mengatakan bahwa kamu dan dia punya hubungan yang sangat kuat di masa lalu. Saya rasa ini lebih dari sekedar hubungan cinta-cintaan romantis. Kalian berdua terlibat sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih kuat daripada sekedar cinta erotis.”
Shaman itu menghisap rokoknya dalam dalam, tiga kali, sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Saya sudah pernah melihat kasus yang sama. Jejak masa lalu yang terbawa ke kehidupan masa kini tak mungkin jejak yang lemah. Dia harus cukup kuat untuk bisa meninggalkan rasa, mengingatkan pembawanya kepada masa lalu yang terlupakan. Semacam utang yang tak boleh lupa dibayar, jejak itu akan terus terbawa sampai utangmu lunas.”
“Utang? Konsep ini terdengar seperti karma buat saya.”
“Karma? Ah, saya lupa, istilah itu mungkin yang paling familiar buat kamu. Oke, saya akan sebut karma saja sekarang. Orang-orang lahir dengan membawa karmanya masing-masing. Jiwa-jiwa yang terlahir di bumi bukan sepenuhnya jiwa baru, sebagian adalah mereka yang sudah berkali-kali lahir, produk daur ulang. Jiwa tua, begitu mereka disebut. Kamu salah satunya. Ah, jangan mengelak. Tak perlu dibahas, toh kamu sebenarnya juga sudah sadar bahwa jiwamu itu sudah tua sekali. Jika tidak kesadaranmu tak akan seperti sekarang.”
Saya menelan ludah mendengar ucapan shaman itu. Saya ditampik bahkan sebelum saya menjawab.
“Begini,” lanjutnya. “Apa yang kamu lihat dalam mimpi itu adalah sebuah pesan, gambaran. Kamu mendapat pesan tentang apa yang orang itu alami, entah yang sudah, belum atau sedang terjadi padanya. Sesuatu yang terjadi padanya itu adalah sesuatu yang besar, yang mungkin berpengaruh kuat pada dia, pada jiwanya. Itu kenapa pesannya bisa punya cukup kekuatan untuk bisa sampai padamu.”
“Tapi yang saya lihat selama ini selalu sama. Saya selalu melihat dia sendirian, sebuah perasaan yang membuat sekujur tubuh saya kedinginan. Penderitaan…”
Shaman itu menghisap rokoknya lagi.
“Saya belum selesai membahas soal karma kalian. Saya sudah katakan bila kehidupan masa lalu kalian pasti punya keterkaitan yang kuat. Saya rasa saya tahu ikatan macam apa yang bisa membawa jejak sedemikian kuat dan membuat kamu berfokus pada pengelihatan-pengelihatan tentang penderitaan yang dia alami. Jiwa kamu sudah pernah kehilangan dia sebelumnya. Karenanya di masa sekarang jejak itu mencegah kamu merasakan kesakitan yang sama dengan memberimu pesan lewat mimpi.”
“Sebentar, beri saya waktu untuk mencernanya,” jawab saya.
“Begini. Kamu dan dia punya sebuah ikatan kuat. Dia sosok yang sangat penting buat kamu. Kamu kehilangan dia dengan cara yang entah apa, yang meninggalkan luka dan kesakitan yang sangat di jiwamu. Luka yang bekasnya masih terbawa hingga sekarang. Kemudian jiwamu dan jiwanya lahir kembali, dalam satu dimensi waktu yang sama : saat ini. Kalian bertemu lagi. Jiwamu mengenali jiwanya begitu kalian bertemu, bekas lukamu jadi “terasa”. Kamu menandai dia sebagai sesuatu yang berharga karena jiwamu mengenalinya, kasarnya kamu jatuh cinta sejak pertama melihatnya. Lalu jejak yang tertinggal di jiwamu menjadi aktif, mengantarkan pesan-pesan kepada kamu yang sekarang. Jiwamu sudah pernah sangat menderita karena kehilangan dia. Sebisa mungkin di kehidupan yang sekarang kamu tak boleh merasakan hal yang sama. Maka yang terjadi adalah dorongan untuk melindungi. Dorongan untuk memastikan bahwa dia akan baik-baik saja. Kamu jadi sensitif pada hal-hal buruk yang terjadi padanya, dan lewat kamu pesan-pesan itu tersampaikan pada dia. Kamu pasti punya dorongan besar untuk menghubunginya setiap kali kamu bermimpi tentang dia, bukan?”
“Ya dan tidak.”
“Saya tidak bicara tentang kamu betul-betul menghubungi dia atau tidak, tapi tentang dorongan untuk menghubunginya.”
“Baiklah… Yaaa… Saya memang selalu mengambil ponsel saya, mengetik panjang lebar setiap kali saya bermimpi tentangnya. Meskipun kebanyakan dari pesan-pesan itu kemudian saya hapus. Saya tidak mau menakutinya, kesannya saya seperti orang gila yang terobsesi padanya.”
Shaman itu tertawa terbahak-bahak sampai terbatuk.
“Kamu lucu sekali, Sayang,” katanya. “Kamu memang terobsesi padanya, bukan? Jiwamu sudah menandainya begitu kalian bertemu. Obsesi itu tak bisa kamu cegah, umurnya sudah ratusan mungkin ribuan tahun!”
“Sudahlah. Berhenti menggoda saya. Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
Saya menjadi sangat tidak sabar dengan shaman ini.
“Saya rasa hubungan kalian tak akan pernah bisa terputus. Koneksi yang kalian punya sangat kuat, sebuah ikatan yang terlalu kuat untuk bisa diputus. Bayangkan, dia terbawa sampai saat ini, apa kamu pikir saya atau kamu mampu berbuat sesuatu pada ikatan macam itu?"
“Lalu?”
“Kamu cuma perlu menerima pesan-pesan itu dengan lebih tenang. Terima saja. Kamu toh sudah menyadari kalau dia “penting” buat kamu. Kamu sudah memahami hubungan macam apa yang kalian miliki. Meski hubungan itu tidak bisa kamu jelaskan dengan definisi tertentu, tapi menyadari bahwa ikatan itu ada sudah cukup untuk saat ini. Apakah kamu bisa menerimanya?”
“Ya…”
“Nah, selanjutnya kamu harus menyadari satu hal. Ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan di dunia ini. Ada hal-hal yang tak bisa kita cegah. Sama seperti proses jiwamu kehilangan jiwa dia dulu, itu tak bisa dicegah. Yang terjadi sekarang juga sama. Mimpi-mimpimu itu mungkin bukan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi padanya, tapi untuk mempersiapkan kamu dan dia bila kemungkinan terburuk harus terjadi: kalian mengulangi takdir yang sama, kehilangan yang menyakitkan. Sampai di sini ada yang tidak bisa kamu terima?”
“Lanjutkan saja,” jawab saya.
“Begini, Sayang… Yang harus kamu lakukan cuma satu. Jujurlah pada dirimu sendiri. Kamu harus membuka diri pada pesan-pesan yang disampaikan lewat mimpimu. Jangan menolak, jangan terlalu banyak berspekulasi. Saya seharusnya tak perlu mengajarimu lagi, kamu sudah bisa merasakan setiap pesan yang disampaikan lewat mimpimu. Masalah kamu saat ini adalah kamu masih sering menolak untuk menerimanya. Itu hanya akan menguras lebih banyak energimu, Sayang. Kamu akan jadi sangat lelah. Ketika kamu bisa menerima, pesan-pesan itu akan menjadi lebih jelas dan tak akan terasa mengganggu lagi.”
Shaman itu menghisap lagi rokoknya, berkali-kali. Membiarkan saya terdiam. Dia hanya duduk dan menunggu, dengan wajah yang terkesan tidak peduli. Saya mengingat lagi perasaan-perasaan yang hadir setiap kali saya bermimpi tentang Angin. Panik. Sedih. Takut. Kehilangan. Semua yang dikatakan shaman di depan saya tak satu pun meleset dari apa yang saya alami. Tiba-tiba ketakutan besar menyergap saya, bulu kuduk saya berdiri.
“Kamu… Apa kamu pikir saya akan merasakan kehilangan yang sama lagi di kehidupan ini?”
Shaman itu mengangkat kedua alisnya.
“Oh, Sayang… Saya tak bisa mengetahui hal-hal semacam itu. Saya tidak punya hak untuk itu. Tapi saya rasa jiwamu yang sekarang justru sudah sangat dipersiapkan untuk kemungkinan paling buruk.”
“Mak… maksudmu?”
“Hmm… Kamu dan dia sama-sama terlahir di dimensi waktu yang sama. Jiwa kalian bertemu lagi. Tapi hubungan yang mengikat kalian di dimensi waktu ini tidak sama dengan apa yang mengikat kalian di masa lalu. Bukankah itu sudah merupakan sebuah persiapan untuk “kehilangan”? Maksud saya, hei, sekarang kamu dan dia hanya teman, bahkan dari ceritamu sendiri teman dekat saja bukan. Kalian cuma dua orang asing. Memangnya apa yang bisa jadi sangat menyakitkan dari kehilangan “orang asing”? Jiwamu dan jiwanya sudah belajar banyak, mungkin kalian sendiri yang memilih untuk tidak lagi ada dalam ikatan yang terlalu kuat. Rasa sakit di masa lalu mungkin sudah cukup untuk membuat jiwa kalian sama-sama belajar membebaskan. Dan hidup kalian di masa ini adalah proses pembebasan itu. Jejak keterikatan memang masih ada, tapi hanya jejak. Bekas luka yang memungkinkan kalian untuk mengingat dan tidak jatuh ke penderitaan yang sama.”
“Saya rasa apa yang kamu bilang masuk akal…”
“Ah, jangan bicara akal-akalan untuk hal seperti ini. Keberadaan saya sebagai shaman dan kamu yang bicara pada saya tentang pesan mimpi saja sebenarnya sudah cukup gila,” jawab shaman itu sambal tertawa renyah.
Saya tersenyum membenarkan perkataannya. “Jiwa saya mungkin sudah cukup tua untuk bisa tersadarkan atas hal-hal absurd semacam ini. Tapi bagaimana dengan dia? Saya rasa dia mungkin saja tak mengingat apa pun dan menganggap saya gila kalau tahu semua ini.”
“Saya tak yakin,” jawab Si Shaman. “Saya rasa dia juga merasakan hal yang sama. Mungkin tidak sepenuhnya sadar seperti apa yang kamu alami, tapi setidaknya dia pasti menyadari bahwa kamu punya koneksi yang aneh dengan dirinya. Semua mimpi – ah, tidak semua – sebagian mimpi yang kamu ceritakan padanya dan “kebetulan” terjadi pada hidupnya pasti lebih dari cukup untuk membuat dia sadar ini tak biasa. Jiwanya juga pasti menuntun dia untuk tidak benar-benar terputus dengan kamu. Sama dengan jiwamu yang selalu menghadirkan bayangannya ketika kamu mulai lupa padanya. Kalau pun dia tak berusaha mencari kamu seperti kamu yang berusaha mencari dia, jiwanya akan membuat dia ada di posisi yang mudah untuk kamu temukan. Sejak bertemu dia kamu tak pernah benar-benar kehilangan dia, bukan?”
“Ya, ada masa dimana saya tidak mengontak dia untuk waktu yang lama. Tapi kemudian saya menemukan “koneksi” lagi dengannya, lewat berbagai media.”
“Nah, itu sudah cukup untuk membuktikan perkataan saya tadi. Sayang, kita terlahir di dunia ini untuk kesekian kalinya bukanlah untuk mengulangi takdir. Jiwa-jiwa tua punya utang atau kewajiban yang belum lunas, pelajaran yang belum selesai. Kamu juga sedang mengalami yang sama. Dia juga. Kalian sedang ada dalam sebuah proses pembebasan. Jadi kamu seharusya tak lagi terbebani dengan hal-hal semacam ini. Kamu beruntung karena tersadar dengan cepat. Dia? Mungkin juga sedang berproses, Dan itu tidak penting buatmu. Kamu dan jiwamu lah yang seharusnya jadi fokusmu. Terimalah prosesmu. Berhentilah berpikir terlalu banyak. Dengarkan apa yang seharusnya kamu dengarkan dan percaya. Paham?”
Shaman itu tahu saya butuh waktu untuk bisa menerima dan memahami ucapannya. Dia beranjak pergi, meninggalkan puntung-puntung rokok dan abu dalam asbak.

Angin dingin tiba-tiba berhembus, menyadarkan saya kalau waktu sudah terlalu malam. Saya pulang dalam diam, membawa kesadaran saya yang lama dengan beban yang lebih ringan.

*Badung, 30 Mei 2017

Jumat, 12 Mei 2017

Kamu hamil, ya? Anaknya Cewek Apa COWOK???

"Kamu Hamil, Ya? Anaknya Cewek Apa COWOK???"

*untuk semua perempuan di luar sana, yang sedang membukakan jalan bagi jiwa-jiwa baru

photo by : Tu Dik 2.8photovideo


Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang paling sering saya hadapi belakangan ini.
Yes, i am pregnant. Saya sedang hamil. Ketika orang-orang mulai menyadari kehamilan saya akibat perut yang sudah tidak bisa disembunyikan lagi, saya mulai sering harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sejenis.

Sejatinya saya beruntung, begitu menikah saya hamil. Jadi saya tidak perlu menghadapi banyak pertanyaan "kapan hamil?" setelah saya menikah. Walaupun sebenarnya saya sangat siap untuk menjawab dan mendebat siapa pun yang berani menanyakan itu ke saya sih...
Keberuntungan kedua, bayi di dalam perut saya ini sangat-sangat bisa diajak kompromi. Di masa-masa awal kehamilan, badan saya yang kurus cuma sedikit bertambah gemuk dan masih terlihat "normal" di mata orang-orang. Saya juga tidak mengalami banyak masalah kesehatan. Morning sickness tentu, tapi saya lagi-lagi beruntung karena jadwal mengajar saya semester ini banyak di jam siang - ketika tubuh saya sudah "sembuh" dari muntah-muntah dan pusing di pagi hari. Perut saya juga tidak terlalu membesar hingga masuk bulan ke lima, itu pun masih bisa "disembunyikan" di balik pakaian longgar saya. Jadi selama beberapa bulan saya terbebas dari pertanyaan-pertanyaan kepo orang-orang di sekitar sana.

Kemudian terjadilah. Perut saya membesar. Saya benar-benar terlihat hamil. Mulai lah saya menghadapi pertanyaan legendaris : ANAKNYA CEWEK APA COWOK?

Pertanyaan ini muncul dari siapa pun. Mertua saya, kakek nenek mertua saya, paman bibi saya, teman-teman saya, mahasiswa saya, hingga teman-teman ekspatriat saya. Pertanyaannya sama memang, tapi sungguh, alasan mereka bertanya dan reaksi mereka ketika medengar jawaban saya sungguh berbeda.

Beberapa orang yang pola pikirnya masih konvensional - karena saya tidak mau memakai kata kolot - yang bertanya soal kelamin bayi saya punya satu tujuan : mengetahui apakah saya bisa menghasilkan pewaris untuk keluarga suami saya atau tidak. Entah apa kepentingannya, yang jelas soal anak laki-laki ini jadi masalah penting di Bali. Terimakasih patriarki!
Saya sering menjawab pertanyaan seputar kelamin ini dengan tidak serius. Jawaban saya berbeda-beda tergantung mood. Sering saya menjawab tidak tahu atau sengaja untuk tidak tahu. Biar "surprise" saya bilang. Tapi jawaban ini juga tidak bisa diterima dengan mudah oleh mereka. Katanya saya aneh. Katanya saya sebaiknya tahu apa kelamin anak saya. Kemudian mereka menyarankan saya untuk USG yang lebih akurat supaya kelamin bayi saya terlihat. Karena kelamin bayi adalah masalah yang penting. PENTING.

Sering saya mencoba menjawab dengan asal sebut laki-laki atau perempuan. Saya cuma mau melihat bagaimana reaksi mereka atas jawaban saya. Seringnya begini, ketika saya jawab anak saya laki-laki, orang yang bertanya akan dengan penuh suka cita memberi selamat, mendoakan, dan yang tidak bisa disembunyikan sekaligus membuat saya muak : menampilkan ekspresi lega. Seolah-olah bayi yang saya kandung ini adalah sesuatu yang sangat berharga dan bisa menyelamatkan hidup mereka. Mereka pun memandang saya dengan bahagia dan "penuh rasa terimakasih", semacam saya sedang membawa berlian berharga triliyunan di perut saya. 
Lain halnya bila saya jawab bayi saya perempuan. Hal pertama yang keluar dari mulut mereka adalah, "Tidak apa-apa, yang penting sehat, yang penting selamat. Cewek atau cowo "sama" aja kok." 
Dan kalimat itu tidak dibarengi dengan ekspresi kelegaan yang sama ketika saya mengatakan bayi saya laki-laki. Wow. Sungguh tulus sekali. Yang lebih menyebalkan, kebanyakan ibu-ibu alias manusia dengan jenis kelamin perempuan lah yang mengatakan kalimat sejenis ini kepada saya. Menyedihkan, bukan?

Reaksi yang berbeda saya dapatkan ketika pertanyaan yang sama diajukan oleh teman-teman ekspatriat saya. Umumnya mereka akan segera memberi selamat dengan senyum sumringah begitu tahu saya hamil, kemudian berkata : mengantarkan jiwa lain ke bumi sungguh sesuatu yang indah, saya bahagia mendengar kamu punya kesempatan ini. Jaga diri baik-baik, semoga kamu dan bayimu sehat. 
Bila mereka bertanya anak saya laki-laki atau perempuan, apa pun jawaban saya mereka akan berkata : Congratulation! Selamat! Saya yakin anakmu akan jadi anak yang cantik (bila perempuan) atau ganteng (bila laki-laki). Kalau pun saya bilang saya belum tahu atau memilih untuk tidak tahu, mereka tetap akan memberi selamat dan berkata : Ya, perempuan atau pun laki-laki saya yakin anakmu akan jadi anak yang hebat!
Sekian. Tanpa stigma, tanpa penilaian. Yang ada saya justru merasa senang karena mereka memang mengucapkan selamat dengan tulus, bahkan menunjukkannya dengan sikap yang juga tulus. Mempersilahkan saya duduk, berhenti merokok di dekat saya, menanyakan kondisi saya, memesankan saya makanan dan minuman, bertanya apakah saya nyaman atau tidak, dan lain-lain.

Perbedaan reaksi ini sungguh membuat saya sadar akan satu hal. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk merubah sikap sebagian besar orang di sekitar saya. Membuat mereka menyadari bahwa kelamin bukanlah sesuatu yang harus didewakan adalah sesuatu yang berat. Selama bertahun-tahun, seumur hidup mereka terbiasa hidup dengan stigma gender semacam ini. Sesuatu yang sudah sejak lama terjadi secara terus menerus seringkali dianggap benar. Maka sikap-sikap semacam ini jga dianggap benar.  
Terus terang, saya merasa dilecehkan jika mendengar kalimat soal kelamin bayi ini dilontarkan kepada saya. Melihat perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh orang-orang hanya karena perbedaan jenis kelamin bayi yang saya kandung sungguh merupakan hal yang membuat saya tidak nyaman. Kasihan anak saya, stigma gender pun sudah dia dapatkan jauh sebelum dia lahir. Kasihan saya, rasanya fungsi saya hanya dihargai sebagai penghasil anak, pembuat keturunan. Bukan dihargai sebagai manusia seutuhnya. Nilai saya ditentukan berdasarkan mampu tidaknya saya menghasilkan anak laki-laki. Titik.

Saya paham betul dengan pola patriarki di Bali. Yang saya tidak paham adalah mengapa banyak perempuan yang memilih ikut mempertahankan ketidak-setaraan gender ini. Budaya Bali memang sering dikaitkan dengan agama Hindu. Tapi sampai sekarang saya belum menemukan satu kalimat pun dalam ajaran agama Hindu yang menyebutkan masalah perbedaan laki-laki dan perempuan. Yang ada justru ajaran soal keseimbangan, dimana laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang sama untuk menciptakan sebuah harmoni. Bukannya si laki-laki harus berada di atas dan perempuan di bawah, keduanya justru harus berada di dua kutub berlawanan yang sejajar untuk menciptakan keseimbangan.

Kalau ajaran agama yang dipuja saja bicara soal kesetaraan dan keseimbangan, mengapa manusia-manusianya bicara soal prioritas laki-laki?

Saya muak dengan semua nilai yang mengagungkan anak laki-laki di budaya Bali. orang-orang, terumana ibu-ibu, harusnya sadar bahwa melanggengkan budaya patriarki semacam ini tidak akan membawa dampak positif bagi dirinya atau pun bagi  keturunannya.  Ibu-ibu harusnya berhenti menciptakan anak-anak lelaki yang terbiasa "sombong" akibat menyangka dirinya lebih dibanding perempuan. Yang paling penting, ibu-ibu ini harus belajar berhenti mendiskreditkan perempuan lain. Apakah dia akan menghasilkan anak laki-laki atau perempuan, sungguh bukan sebuah hal yang harus dipertanyakan apalagi diperdebatkan. Perempuan harusnya saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Hamil dan punya anak bukanlah sebuah kompetisi tapi sebuah perjalanan. Anugrah dan tanggung jawab. Sebuah proses alami kehidupan. Anak laki-laki atau perempuan, memangnya Anda siapa bisa menilai yang satu lebih berharga dari yang lain?



Kamis, 11 Mei 2017

I Adopt A Dog When I Know I Am Pregnant

I Adopt A Dog When I Know I Am Pregnant
(Saya Mengadopsi Seekor Anjing Ketika Saya Tahu Saya Sedang Hamil)

*untuk Zoro No Zoro, Bulu, Ohany, Jiro, Russel dan semua anjing yang pernah saya pelihara*


Zoro No Zoro


Begitu saya melihat tanda positif di test pack, hal pertama yang saya pikirkan adalah : Ok. I am going to have a baby. I have to get a buddy for the baby.

Serius.
Hal pertama yang saya pikirkan adalah saya harus punya seseorang yang bisa saya percaya untuk menjaga dan menemani anak saya. Seseorang yang punya kualitas mencintai tanpa mengharapkan imbalan, seseorang yang punya kualitas ketulusan tiada tanding. Seseorang yang bukan manusia, tentu.

Maka berakhirlah saya dalam pencarian anak adopsi : seekor anjing bali.

Saya tidak sembarangan asal adopsi anjing. Pengalaman saya berurusan dengan organisasi yang bergerak di bidang kesejahteraan satwa bagi saya cukup sebagai pertimbangan keputusan saya ini. Lebih lagi saya sadar bahwa rumah saya memang membutuhan anjing baru. Ada dua anjing kecil yang tersisa di rumah ini, Ohany dan Bulu. Dua-duanya “tidak bisa diandalkan”. Ohany sudah tua dan buta. Sementara Bulu pengecut tingkat dewa. Hana, alpha (anjing pemimpin kelompok), satu-satunya anjing yang bisa diandalkan di rumah ini, baru beberapa minggu meninggal karena sakit. Otomatis keseimbangan di rumah ini terganggu. Ohany dan Bulu tidak henti-hentinya bertengkar – bukan dengan satu sama lain tapi dengan anjing-anjing tetangga dan anjing liar yang mulai berani memasuki teritori yang ditinggalkan Hana. Mengancam Ohany dan Bulu. Keamanan di rumah juga mulai saya khawatirkan, Ohany punya pendengaran yang bagus tapi buta. Dia sering keliru menggonggongi saya atau penghuni rumah lain sebagai orang asing. Atau menyangka orang asing adalah salah satu dari kami. Bulu? Ah, si pengecut itu tak usah ditanya.

Banyak yang mengganggap keputusan saya mengadopsi anjing ketika saya sedang hamil adalah keputusan yang gila – dan tentu, salah. Katanya saya sedang dalam kondisi yang spesial, jadi sebaiknya saya tak usah dekat-dekat dengan binatang apalagi anjing. Kotor, nanti tertular penyakit bagaimana? Yang lain bilang, saya sebaiknya tidak adopsi anjing. Nanti capek lho, ngurus anjing sama ngurus anak. Yang ada nanti anjingnya terlantar. “Banyak kok orang-orang yang malah menjual, menghibahkan, menyingkirkan binatang peliharaan ketika hamil. Kamu kok malah sebaliknya? Gila!”

Tapi tentu saya yang keras kepala ini tak mungkin menuruti satu pun larangan itu. Pada suatu siang yang panas, saya dan adik sepupu saya naik motor ke daerah Nusa Dua, sekitar satu jam dari Denpasar, untuk mengambil seekor anak anjing bali hitam yang kemudian saya beri nama : Zoro No Zoro.

Saya tak minta ijin pada siapa pun untuk mengadopsinya. Tidak juga pada suami saya. Kenapa? Karena kami sudah bersahabat cukup lama, lalu pacaran sekian lama juga. Dia sudah sangat paham dengan pola pikir saya dan menyadari jika melarang saya adalah sebuah hal yang mustahil. Lagipula dia juga menyukai anjing. Keluarganya? Saya cukup yakin mereka tidak akan keberatan dengan adanya anggota keluarga baru. Satu hal yang pasti, Zoro No Zoro adalah anak adopsi saya, maka saya lah yang kemudian akan bertanggung jawab penuh pada anak ini. Rasa-rasanya tak mungkin ada yang keberatan di rumah ini.

Zoro kemudian tinggal di rumah ini, bersama keluarga ini. Tiga hari pertama adalah ujian berat. Saya harus memaksanya tinggal di kendang setiap malam. Dia masih terlalu kecil untuk dibiarkan berkeliaran. Ohany dan Bulu juga masih asing dengan keberadaannya. Saya tak mau mereka bertengkar dan menghasilkan masalah baru kemudian. Zoro yang masih “bayi” juga masih belum terbiasa tidur tanpa ibunya. Jadilah sepanjang malam dia menangis dan meraung. Saya harus menjenguknya tiap beberapa jam, menyuruhnya diam sampai dia tidur, baru kemudian saya kembali tidur. Mengapa tak menaruh kandangnya di kamar saya? Tidak. Saya punya prinsip yang sangat ketat soal wilayah teritori saya. Kamar adalah wilayah yang sepenuhnya jadi kuasa saya. Saya tidak nyaman bila ada yang masuk ke kamar saya tanpa ijin. Pada manusia saja saya marah, jadi binatang juga tak bisa masuk.

Awalnya, rutinitas memelihara “bayi” anjing ini juga mengkhawatirkan banyak orang. Memberi makan, mengajak bermain, memandikan dan membuatnya terbiasa dengan rumah ini dan penghuninya memang butuh waktu dan upaya. Semua saya lakukan dalam keadaan hamil. Mungkin beberapa orang khawatir dengan saya, tapi saya percaya pada apa yang saya rasakan. Saya senang, tubuh dan bayi saya juga baik-baik saja. Saya cuma butuh waktu sekian minggu, sampai anak ini bisa mandiri dan bertingkah seperti “anjing betulan”.

Umur Zoro sekarang sudah 7 bulan. Remaja untuk ukuran anjing. Dia sudah bisa diandalkan. Beberapa minggu setelah adopsi, anjing-anjing tetangga dan anjing liar juga berhenti datang ke rumah ini. Mungkin mereka sudah mencium bau calon alpha baru. Zoro juga sudah bisa menggonggong. Setiap ada orang asing yang datang, dia bertindak seperti alarm. Walau terkadang alarmnya masih agak terlambat, sih…

Yang paling menyenangkan bagi saya adalah, dia selalu mengantar saya ke kamar mandi. Rumah yang saya tempati adalah rumah bali dengan struktur bangunan terpisah. Saya tidur di Bale Dauh, bangunan yang ada di bagian rumah sikut satak (struktur utama bangunan Bali) sementara kamar mandi ada jauh di ujung di dekat teba (kebun belakang). Jaraknya mungkin sekitar 20 meter (atau lebih?). Untuk ke sana, saya harus berjalan beberapa langkah dan kalau malam sering gelap karena minim lampu. Hamil membuat saya rajin buang air kecil ke kamar mandi, siang atau pun malam. Kebiasaan saya minum banyak air juga sepertinya membuat rutinitas buang air kecil ini semakin sering. Dan Zoro adalah pengantar setia saya.

Kalau siang, Zoro yang berbulu hitam memang hobi nongkrong di depan pintu kamar mandi. Adem mungkin. Kalau malam, Zoro akan siaga di depan pintu kamar saya. Dia akan segera bangun bila mendengar pintu kamar saya terbuka, bergegas berdiri dengan kuping tegak lalu berjalan mengikuti saya ke kamar mandi. Jam berapa pun dalam keadaan apa pun. Bulu dan Ohany juga kemudian melakukan hal yang sama. Tiga-tiganya sekarang tidur di sekitaran bale dauh tempat saya tidur. Otomatis, setiap malam setiap kali ke kamar mandi, ada tiga anak yang mengikuti saya. Ditambah dengan suami saya yang tentu saja tak akan membiarkan saya berjalan malam-malam ke kamar mandir sendirian, jadilah kami beriring-iringan. Bulu di depan, Ohany dan Zoro di belakang. Mereka akan menunggu di depan kamar mandi dengan kepala, kuping dan ekor tegak. Siaga penuh sampai saya keluar dari kamar mandi, lalu kemudian kembali mengawal saya untuk kembali ke kamar. Kalau dipikir-pikir, kelakuan mereka yang seperti ini memang terkesan lucu. Memangnya apa yang mungkin terjadi pada saya dalam perjalanan ke kamar mandi? Plus keberadaan suami di samping saya. Tapi di sini letak kualitas anjing-anjing itu. Mereka bertiga, yang “cuma “anjing saja peduli pada saya. Mereka mengawal saya meski hanya untuk ke kamar mandi. Meski sebenarnya bahaya yang saya hadapi dalam perjalanan beberapa meter itu minim, mereka tetap siaga penuh, siap sedia menghadapi apa pun yang mungkin menghadang.


Ini yang saya maksud dengan ketulusan tiada tanding. Anjing adalah satu-satunya makhluk yang saya kenal yang bisa mencintai manusia dengan sangat tulus. Tak peduli bagaimana perlakuanmu kepadanya, dia akan tetap setia menjagamu. Pengalaman-pengalaman seperti ini juga yang meyakinkan saya untuk menyiapkan seorang teman bagi bayi saya. Seorang teman yang kelak akan bisa dia percaya sepenuhnya. Teman yang tidak akan berkhianat. Teman yang akan selalu bahagia melihat dia. Teman yang tulus. Seekor anjing bali bernama Zoro No Zoro.

Jumat, 28 April 2017

If You Love Someone, Tell Him

"If you love someone, tell him."
"Kalau kamu sayang pada seseorang, beritahu dia."


"i love you" - karya penulis



Klise.
Itu mungkin yang ada di kepala saya jika saya membaca kalimat itu sepuluh tahun yang lalu. Ketika saya masih "anak bawang" yang mendewakan novel-novel remaja - yang pada jamannya disebut teenlit - dimana hampir semuanya berakhir dengan cinta yang terbalas, alias si tokoh utama akan jadian dengan cowok yang ditaksir. Siapa pun itu. Entah kakak kelas ganteng, artis idola, bahkan seorang pencuri yang tidak sengaja bersembunyi di kamarmu ketika dikejar-kejar polisi. Endingnya mirip dengan hampir semua dongeng Disney : bahagia selamanya.

Tapi, buat saya yang sekarang, kalimat di atas adalah sebuah kata-kata bijak, sebuah pegangan hidup tepatnya. Pelajaran paling berharga yang memungkinkan saya sampai pada kehidupan saya sekarang : menikah dengan seseorang dan bahagia dengan pilihan saya. Dan semua berkat kenekatan saya "menyatakan cinta". LOL

Ketika masih SMA, saya pernah menyukai seseorang. Sangat. Seperti kebanyakan ABG dan cinta monyetnya, hidup saya saat itu dipenuhi dengan letupan-letupan perasaan bahagia yang tak tergambarkan ketika melihat dia sekedar melintas di depan saya. Absurd, sungguh. Sayangnya, berkat racun-racun teenlit yang dulu saya baca, saya percaya suatu saat nanti takdir akan mempertemukan saya dan dia. Saya dan dia akan jadian. Pasti. Dan berakhirlah saya jadi penggemar rahasia yang tak pernah mengungkapkan perasaan saya padanya selama bertahun-tahun, mengharapkan takdir akan memaksa dia menyadari keberadaan saya dan membuat kami jadian.

Tapi dia tak pernah tahu.

Bertahun-tahun kemudian, saya sudah menjalani hidup sebagai manusia di awal usia dua puluhan. Usia awal kedewasaan mungkin. Saat itu saya masih hidup dengan bayang-bayang cinta monyet. Namanya masih bergantung di kepala saya. Wajahnya, meskipun saya sudah tidak ingat dengan jelas, masih sering muncul dalam mimpi-mimpi saya. Saya merasa saya masih menyukainya. Saya masih terobsesi dengan keberadaannya. Saya masih merasa suatu saat nanti dia akan datang pada saya dan menyatakan cinta. Di waktu yang sama, saya tahu bahwa semuanya tidak akan pernah terjadi. Seketika saya merasa terganggu. Hidup saya jadi tidak normal. Saya tidak bisa menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun tanpa momen dimana saya membayangkan dia.
Ada yang salah dengan semua ini.
Ada yang salah dan saya sudah lelah.

Setelah berpikir cukup lama, saya membuat sebuah keputusan besar yang saya pikir bisa menyembuhkan saya. Saya memberanikan diri melakukan satu hal yang saya anggap tabu : menyatakan perasaan saya pada dia - meski sudah terlambar bertahun-tahun.

Well, harus saya akui. Selain teenlit-teenlit itu, saya juga seorang perempuan yang hidup di lingkungan patriarkhi. Artinya saya hidup dengan ajaran "etika" perempuan dan hubungannya dengan laki-laki. Perempuan harus menunggu sampai ada laki-laki yang menghendakinya. Perempuan harus memilih betul-betul laki-laki mana yang akan diterima cintanya, dan harus lihat bibit bebet bobotnya. Perempuan harus bangga jika ada banyak laki-laki yang menghendakinya, dan pilihlah yang terbaik. Serhananya begini : sebisa mungkin jangan menyatakan perasaan lebih dahulu pada laki-laki atau kamu dianggap murahan.

Maka menyatakan perasaan adalah sebuah hal yang jauh membuat saya lebih grogi ketimbang pidato di depan ratusan orang. Wajar, saya butuh ratusan helaan nafas panjang sebelum benar-benar melakukannya.

Ketika itu, saya juga tak punya cukup nyali untuk menyatakan perasaan saya secara langsung. Dia yang sedang berada di pulau yang berbeda menjadi keuntungan tersendiri bagi saya. Saya jadi bisa membenarkan diri saya yang cuma berani menyatakan perasaan saya lewat tulisan. Sebuah keberuntungan sebenarnya.
Maka dikirimlah sebuah email panjang, yang diawali dengan kalimat pembuka berikut : Pahamilah, ini bukan sebuah pernyataan cinta biasa. Saya cuma sedang berusaha berdamai dengan hidup saya.

Saya tidak berbohong. Saat itu saya menyadari bahwa perasaan saya pada dia adalah akumulasi perasaan suka bertahun-tahun yang dipendam, yang malah lebih terasa menyakitkan ketimbang menyenangkan. Waktu yang terlewat juga membuat logika saya lebih bisa dipercaya dibanding perasaan saya. Sudah bertahun-tahun, memang apa yang bisa saya harapkan? Dia mungkin sudah punya hidupnya sendiri dan punya seseorang yang dia sukai. Dan saya menolak untuk melanjutkan peran sebagai penggemar rahasia. Lagipula, saya butuh bangun dari semua ini dan menjalankan kehidupan cinta yang nyata-nyata ada di depan saya.

Email pun terkirim.
Saya was-was. Menunggu jawaban namun sekaligus mengharap agar email saya tak segera dibalas. Tapi sungguh, rasanya lega sekali. Ada beban yang terangkat dari hati saya. Saya belum pernah merasakan kelegaan yang sama seperti saat itu. Semua terasa jauh lebih ringan.
Saya benar, pernyataan perasaan ini bisa membantu saya. Sangat.

Beberapa menit kemudian, saya mendapat jawaban. Dan satu kalimat dari dia yang paling saya ingat adalah :

"Bodoh! Kenapa baru bilang sekarang?"

Jleb!

Coba bayangkan, bagaimana perasaan saya kemudian membaca kalimat itu?
Saya jadi merasa bodoh. Kenapa saya baru bilang? Kenapa saya tidak pernah berpikir untuk melakukan hal ini bertahun-tahun yang lalu?
Dan wow, dia memahami maksud saya dengan baik. No judgement. Samasekali tidak ada penghakiman.
Dia tidak mengganggap saya aneh. Dia tidak mengganggap saya perempuan murahan.
Kenapa saya tidak melakukannya sejak dulu?
Dasar bodoh!

Malam itu berakhir dengan saya yang mengatai-ngatai kebodohan saya sambil tertawa. Saya berdamai dengan hati saya sendiri, dengan pikiran-pikiran dan bayangan-bayangan dia yang saya ciptakan. Saya sembuh dari ketergangguan saya terhadap dia.
Saya fix move on. Bukan dari dia, tapi dari perempuan yang tidak pernah berani menyatakan perasaannya sendiri. Dia kemudian menjelma dari sosok idola menjadi sosok guru yang sudah membantu saya menjadi lebih baik.
Ah, dan membuat saya berhenti jadi perempuan bodoh tentu saja.

Pengalaman ini kemudian sangat membantu dalam kehidupan cinta saya setelahnya.
Saya menolak untuk memendam perasaan saya pada seseorang.
Dan berakhirlah saya pada sosok laki-laki ini : suami saya.
Saya sangat sadar bila saya tidak berubah, saya tidak mungkin bisa bersamanya saat ini. Bila saya masih menjadi perempuan yang diam, hidup saya mungkin tak bahagia seperti sekarang.
Cinta itu butuh diperjuangkan.
Salah satunya dengan menyatakan perasaan.
Memang apa yang rugi dengan menyatakan perasaan?
Perempuan harusnya tak lagi merasa tabu untuk menyatakan perasaannya. Perempuan harus terbebas dari stigma. Bila "menembak" adalah sah bagi laki-laki, kenapa tidak bagi perempuan?
Bukankah cinta adalah hak asasi segala makhluk?

Senin, 13 Maret 2017

Kapan Nikah? Kapan Hamil? Kapan Punya Anak? Kapan Mati??? Eehh....

"Kapan nikah?
Kapan hamil?
Kapan punya anak?
Nggak mau nambah anak lagi?"


"The Seed" - karya penulis


Ke-kepo-an tiada akhir, begitu saya menyebutnya. Untungnya, saya termasuk spesies perempuan yang bodo amat dengan semua pertanyaan-pertanyaan sejenis. Tapi percayalah, untuk sampai pada tahap bodo amat seperti sekarang, saya butuh waktu yang tidak singkat. Bukan karena sakit hati atau kecewa tiap kali ditanyai pertanyaan semacam itu, saya butuh waktu lebih untuk belajar mengendalikan mulut saya : biar nggak jawab yang aneh-aneh. Serius, dulu saya sering menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini dengan emosi. Misal ketika saya ditanyai kapan nikah, saya akan jawab dengan nada tinggi, "Emang kalo nggak nikah kenapa? Ada masalah? Nanya-nanya doang buat apaan coba?!?"

Reaksi saya yang seperti itu bertahan cukup lama. Sampai akhirnya saya sadar kalau saya bodoh sampai emosi cuma gara-gara pertanyaan nggak penting dari orang yang bahkan tidak punya kepentingan dalam hidup saya. Semacam buang-buang energi, atau lebih tepatnya, saya menambah negativitas yang tidak perlu pada diri saya. Sering saya jadi kesal seharian cuma gara-gara satu pertanyaan sesederhana kapan nikah. Padahal saya sendiri bukan perempuan yang akan kecewa lalu depresi kalau tidak menikah seumur hidup sekalipun. Jadi, kenapa saya menyusahkan diri sendiri?

Ketika sudah mencapai tahap pencerahan untuk jadi bodo amat, saya kemudian lebih suka menanggapi pertanyaan-pertanyaan sejenis dengan cara yang lebih elegan (menurut saya) dengan menjadikannya bahan bercandaan atau saya serang balik si penanya dengan pertanyaan sejenis yang saya yakin dia nggak akan bisa jawab.
Saya ditanya kapan nikah, saya jawab sambil tersenyum, "Ibu nanya-nanya saya kapan nikah, ibu pengen nikah lagi ya?"
Ketika ditanya kapan hamil, saya jawab masih sambil tersenyum, "Kenapa? Pasti ibu mau bayarin biaya anak saya nanti ya?"
Atau kalau pertanyaannya terus berlanjut, saya cuma bilang, "Ih, Ibu kepo amat sama saya. Ibu ngefans yaa? Sini saya kasih tandatangan."
Kadang saya langsung tertawa setelahnya. Melihat muka orang-orang yang bertanya pada saya jadi merah padam atau malah kehilangan kata-kata. Setidaknya daripada marah-marah dan mengambil energi negatif dari mereka, saya lebih baik tertawa dan membiarkan mereka yang kesal sendiri. Lama-kelamaan kebanyakan dari orang-orang ini kapok kepo pada saya. Atau kalau masih ada yang kepo pun, mereka sudah siap dengan jawaban ajaib dari saya.

Jujur sampai sekarang saya tidak mengerti dengan ke-kepo-an orang-orang yang ada di lingkungan sosial saya. Maksud saya begini, apakah mereka tidak merasa terganggu kalau ada orang yang menanyakan hal yang sama pada mereka? Atau mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak punya cukup pengertian dan toleransi untuk bisa menyadari kalau pertanyaan-pertanyaan "sederhana" mereka bisa menyakiti orang?

Tidak semua orang hidup dengan kondisi yang sama. Ketika saya ditanyai kapan nikah, saya tidak punya masalah berat dengan pertanyaan itu. Tapi bagaimana kalau pertanyaan yang sama ditanyakan pada seseorang yang memang sangat ingin menikah, tapi punya masalah yang membuat dia terpaksa harus mengurungkan niatnya? Bagaimana kalau yang ditanya baru saja patah hati ditinggal kekasih? Atau bagaimana kalau yang ditanya baru saja harus membatalkan pernikahannya karena calonnya tiba-tiba meninggal? Apakah pertanyaan kapan nikah masih jadi pertanyaan sederhana yang bisa dijawab sederhana?

Jujur, dari sederet pertanyaan kepo diatas, yang paling mengesalkan bagi saya adalah pertanyaan kapan hamil. Ini jauh lebih mengesalkan dari pertanyaan kapan nikah. Ada sebuah fenomena di Bali, dimana tujuan utama sebuah pernikahan bukanlah kebahagiaan dari kedua orang yang menikah, tapi untuk menghasilkan keturunan. Segera setelah upacara pernikahan, perempuan pasti akan diteror dengan pertanyaan kapan hamil, dari mertua hingga ibu-ibu yang baru bertemu di jalan. Pokoknya semakin cepat hamil dan punya anak semakin baik, semakin lama kamu tidak hamil maka siap-siaplah. Teror yang datang akan semakin banyak. Ini jadi semacam ujian, tapi menurut saya ini adalah penyiksaan.

Kita hidup bukan di dalam sebuah dongeng, dimana mereka yang menikah akan punya anak lalu hidup bahagia selamanya. Ayolah, ini dunia nyata. Setiap orang hidup dengan takdirnya masing-masing, setiap orang punya tubuh yang istimewa, setiap perempuan berhak memutuskan apakah dia mau punya anak atau tidak. Punya anak itu sebuah hak, bukan kewajiban yang bisa dipukul rata. Dan perempuan mana pun tidak punya kewajiban untuk menjawab ke-kepo-an apa pun atas kehamilan atau pun ke-tidak-hamil-annya.

Saya mengenal beberapa orang yang sangat ingin punya anak, namun takdir mereka belum sampai di sana. Banyak diantara yang saya kenal itu melakukan berbagai cara untuk bisa punya anak. Mereka sudah habis-habisan berjuang, habis tenaga dan biaya. Belum lagi beban secara psikologis yang mereka tanggung atas tuntutan-tuntutan lingkungan sosial. Coba pikir, terhadap perempuan-perempuan seperti ini, apakah pertanyaan kapan hamil tidak menambah luka di hatinya?

Saya juga kenal beberapa orang yang dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu menunda untuk punya anak. Entah masalah kesehatan atau finansial, yang jelas mereka punya alasan untuk menunda atau tidak punya anak sekalian. Pada yang seperti ini, pertanyaan kapan hamil juga tidak bisa dijawab dengan sederhana. Lingkungan sosial kita yang mendewakan keturunan pasti akan memberi label pada mereka, atau kasarnya : apa pun alasannya, kamu salah karena tidak mau hamil. Titik.

Tidak berhenti sampai di sana. Ada stigma dimana urusan anak beranak seperti ini seringkali hanya dibebankan pada perempuan. Setidaknya itu yang terjadi di lingkungan saya. Jika sepasang suami istri tak kunjung hamil, maka tersangka utama adalah istri, si perempuan.
"Pasti ada masalah dengan peranakannya, pasti ini, pasti itu, bla bla bla..." ucapan-ucapan semacam itu akan jadi wajar terdengar di kuping si perempuan. Jarang sekali saya menemukan kasus dimana yang jadi tersangka utama adalah laki-laki. Seperti biasa, budaya patriarki yang sudah terlanjur mengakar kuat menjadikan "wajar" apabila perempuan yang salah. Bahkan ada kasus dimana si perempuan dipaksa menjalankan tes ini itu, terapi ini itu, bahkan harus merelakan suaminya selingkuh dan menikah lagi karena tidak bisa menghasilkan keturunan. Sementara sang suami tidak perlu di tes macam-macam karena "sudah pasti normal". Terdengar tidak adil?

Saya, sebagai perempuan, tidak pernah menanyakan pertanyaan-pertanyaan kepo semacam ini kepada perempuan lain. Saya tidak perlu kepo. Karena hidup saya bukan urusan mereka, saya juga menolak untuk mengurusi hidup mereka. Sekali lagi, saya tidak punya kepentingan untuk itu.
Sayangnya, saya masih sering menemukan perempuan-perempuan yang suka menanyakan pertanyaan-pertanyaan beresiko itu kepada perempuan lain. Sebagai basa basi katanya, tapi kebanyakan tanpa menyadari kondisi. Ayolah, sebagai sesama perempuan, apa kita tidak mau sama-sama menghentikan lingkaran pertanyaan kepo tak berujung ini? Anda pasti pernah kesal karena ditanyai ini itu yang tidak berkenan di hati, khan? Lalu kenapa masih melakukan hal yang sama kepada orang lain?

Pertanyaan-pertanyaan semacam kapan nikah, kapan punya anak dan seterusnya bukanlah pertanyaan sederhana macam apa kabar yang bisa dijawab dengan basa basi. Jadi, berhentilah menanyakan pertanyaan-pertanyaan sejenis kepada perempuan lain. Kita tidak pernah tahu kondisi apa yang sedang mereka alami, perjuangan macam apa yang sedang mereka hadapi. Istilahnya, kita tidak berjalan dengan sepatu mereka, jadi kita tidak tahu apa yang mereka rasakan. Tidak menanyakan hal-hal seperti ini tidak akan merugikan kita, samasekali. Menanyakannya malah akan beresiko menyakiti hati seseorang, jadi buat apa dilakukan??? Pentingkah basa-basi semacam ini terus dilestarikan???


*Tulisan ini saya buat untuk semua perempuan di luar sana. Menikah atau tidak, punya anak atau tidak, kalian tetaplah perempuan hebat. Don't let any negativity ruin your life. Be happy. Be You <3 <3 <3

Jumat, 10 Maret 2017

Perempuan Bali : Sulitnya Menjadi Perempuan dalam Budaya Patriarki

unfinished watercolor painting karya penulis


Menjadi perempuan Bali itu sulit.
Ini opini saya, dan juga sebagai besar perempuan Bali yang saya kenal.

Budaya Bali adalah budaya patriarki, dimana lelaki menjadi otoritas utama yang sentral dalam segala bentuk organisasi sosial, termasuk keluarga. Singkatnya para lelaki Bali memiliki keunggulan otoritas dalam berbagai bidang, seperti penentuan garis keturunan patrilineal ekslusif, hak waris, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik, politik atau agama, dan lain-lain.

Apa yang salah dengan budaya patriarki Bali?
Kesetaraan gender adalah sesuatu yang mahal dan langka dalam budaya Bali. Kendati banyak konsep yang mendukung adanya kesetaraan gender dalam budaya Bali, dalam praktiknya di masyarakat yang terjadi tidaklah seideal apa yang disampaikan dalam konsep-konsep tersebut. Konsep Rwa Bhinneda misalnya. Secara garis besar konsep ini mirip dengan Yin Yang, dimana ada dua unsur atau entitas berbeda yang berlawanan, namun tidak bisa saling mengalahkan atau menghilangkan. Yang harus dilakukan adalah menjaga keseimbangan untuk sebuah harmoni. Sebuah konsep yang ideal untuk kesetaraan gender, bukan? Namun yang terjadi di masyarakat Bali justru sebaliknya.

Yang mengesalkan bagi saya sebenarnya bukan budaya Bali, tapi bagaimana konsep patriarki ini dilanggengkan dalam praktek kehidupan sosial masyarakat Bali. Lelaki Bali punya hak-hak istimewa yang sulit untuk bisa disamaratakan dengan hak perempuan Bali. Contoh : seorang perempuan Bali yang menikah akan pindah ke rumah suaminya. Ketika ini terjadi, dalam mayoritas masyarakat Bali perempuan ini dianggap kehilangan hak waris di rumahnya. Sementara di rumah baru, rumah sang suami, perempuan yang sama yang kini menjadi menantu juga tak punya hak waris. Semua hak waris adalah milik suaminya, anak lelaki di keluarga itu. Dan tentu saja kemudian akan menurun ke anak mereka kelak. Ah, satu lagi. Perempuan juga tidak berhak atas hak asuh anak. Jika kelak bercerai atau sang suami meninggal, maka hak asuh anak ada di keluarga suami, bukan pada si perempuan yang melahirkan anak. Mengesalkan?

Permasalahan ini kemudian ditambah dengan persekongkolan para perempuan yang mengambil andil dalam melanggengkan budaya patriarki ini. Saya sering menemukan perempuan Bali yang mendiskreditkan perempuan lain. Seorang nenek bisa mendiskreditkan anak dan cucunya dengan berdalih pada tradisi masa lalu. Seorang mertua juga melakukan hal yang sama pada menantunya, ipar kepada ipar, saudara perempuan yang lebih tua kepada adiknya, dan seterusnya. Begitu terus, seperti lingkaran setan yang tak ada ujungnya.

Contoh sederhana, anggaplah si A baru saja melahirkan anak pertamanya. Maka pertanyaan yang akan muncul dari orang-orang, termasuk nenek, ibu, bibi, kakak perempuan, dan seterusnya, adalah : anaknya perempuan atau lelaki?
Bila anaknya laki-laki, yang keluar pasti ucapan syukur, atau pujian betapa beruntungnya keluarga itu punya keturunan lelaki, betapa bahagianya mereka mendengar kabar itu, dan seterusnya.
Sementara bila anak perempuan?
Kebanyakan yang keluar adalah "Yah... anaknya perempuan ya? Nggak apa-apa, nanti bisa bikin lagi biar dapet anak cowok." Yang kemudian diikuti dengan seabreg tips dan trik bagaimana menghasilkan anak lelaki. Melahirkan seorang anak lelaki adalah berkah, tapi entah kenapa ketika melahirkan anak perempuan, berkah ini lebih terdengar seperti kesialan yang perlu didukung dengan pemberian motivasi dan kata-kata penyemangat, bukannya ucapan selamat.
Dan itu keluar dari mulut perempuan-perempuan Bali juga, yang seharusnya merasakan apa yang perempuan lain rasakan. Nah, yang begini ini lebih mengesalkan, khan?

Budaya patriarki akan terus ada selama masyarakat, dalam hal ini KITA, ikut terus mengkonstruksi dan melanggengkan budaya itu sendiri. Sudah saatnya perempuan-perempuan Bali masa kini menyadari hak dan kewajibannya, memahami apa itu kesetaraan gender dan tentu saja ikut memperjuangkannya. Bukan masalah meninggalkan nilai tradisi budaya. Jangan lupa bahwa budaya adalah hasil konstruksi manusia, yang berkembang seiring dengan perkembangan jaman dan kemampuan penalaran manusia. Budaya bukanlah sebuah nilai pasti yang tidak bisa kita ubah untuk menjadi yang lebih baik. Mau sampai kapan melanggengkan sebuah sistem yang mendiskreditkan perempuan? Sementara kita sendiri menyadari betapa sulitnya menjadi perempuan dalam sistem seperti ini. Apakah kita rela mewariskannya pada anak cucu kita kelak?

Bicara tentang kesetaraan gender bukan bicara soal perempuan untuk menjadi lebih dari lelaki. Rumusnya bukan perempuan > lelaki, tapi perempuan = lelaki. Rumus yang sebenarnya sangat bisa untuk diaplikasikan dalam budaya Bali - atau bahkan sebenarnya sudah ada dalam budaya Bali? ;)