Jumat, 10 Maret 2017

Perempuan Bali : Sulitnya Menjadi Perempuan dalam Budaya Patriarki

unfinished watercolor painting karya penulis


Menjadi perempuan Bali itu sulit.
Ini opini saya, dan juga sebagai besar perempuan Bali yang saya kenal.

Budaya Bali adalah budaya patriarki, dimana lelaki menjadi otoritas utama yang sentral dalam segala bentuk organisasi sosial, termasuk keluarga. Singkatnya para lelaki Bali memiliki keunggulan otoritas dalam berbagai bidang, seperti penentuan garis keturunan patrilineal ekslusif, hak waris, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik, politik atau agama, dan lain-lain.

Apa yang salah dengan budaya patriarki Bali?
Kesetaraan gender adalah sesuatu yang mahal dan langka dalam budaya Bali. Kendati banyak konsep yang mendukung adanya kesetaraan gender dalam budaya Bali, dalam praktiknya di masyarakat yang terjadi tidaklah seideal apa yang disampaikan dalam konsep-konsep tersebut. Konsep Rwa Bhinneda misalnya. Secara garis besar konsep ini mirip dengan Yin Yang, dimana ada dua unsur atau entitas berbeda yang berlawanan, namun tidak bisa saling mengalahkan atau menghilangkan. Yang harus dilakukan adalah menjaga keseimbangan untuk sebuah harmoni. Sebuah konsep yang ideal untuk kesetaraan gender, bukan? Namun yang terjadi di masyarakat Bali justru sebaliknya.

Yang mengesalkan bagi saya sebenarnya bukan budaya Bali, tapi bagaimana konsep patriarki ini dilanggengkan dalam praktek kehidupan sosial masyarakat Bali. Lelaki Bali punya hak-hak istimewa yang sulit untuk bisa disamaratakan dengan hak perempuan Bali. Contoh : seorang perempuan Bali yang menikah akan pindah ke rumah suaminya. Ketika ini terjadi, dalam mayoritas masyarakat Bali perempuan ini dianggap kehilangan hak waris di rumahnya. Sementara di rumah baru, rumah sang suami, perempuan yang sama yang kini menjadi menantu juga tak punya hak waris. Semua hak waris adalah milik suaminya, anak lelaki di keluarga itu. Dan tentu saja kemudian akan menurun ke anak mereka kelak. Ah, satu lagi. Perempuan juga tidak berhak atas hak asuh anak. Jika kelak bercerai atau sang suami meninggal, maka hak asuh anak ada di keluarga suami, bukan pada si perempuan yang melahirkan anak. Mengesalkan?

Permasalahan ini kemudian ditambah dengan persekongkolan para perempuan yang mengambil andil dalam melanggengkan budaya patriarki ini. Saya sering menemukan perempuan Bali yang mendiskreditkan perempuan lain. Seorang nenek bisa mendiskreditkan anak dan cucunya dengan berdalih pada tradisi masa lalu. Seorang mertua juga melakukan hal yang sama pada menantunya, ipar kepada ipar, saudara perempuan yang lebih tua kepada adiknya, dan seterusnya. Begitu terus, seperti lingkaran setan yang tak ada ujungnya.

Contoh sederhana, anggaplah si A baru saja melahirkan anak pertamanya. Maka pertanyaan yang akan muncul dari orang-orang, termasuk nenek, ibu, bibi, kakak perempuan, dan seterusnya, adalah : anaknya perempuan atau lelaki?
Bila anaknya laki-laki, yang keluar pasti ucapan syukur, atau pujian betapa beruntungnya keluarga itu punya keturunan lelaki, betapa bahagianya mereka mendengar kabar itu, dan seterusnya.
Sementara bila anak perempuan?
Kebanyakan yang keluar adalah "Yah... anaknya perempuan ya? Nggak apa-apa, nanti bisa bikin lagi biar dapet anak cowok." Yang kemudian diikuti dengan seabreg tips dan trik bagaimana menghasilkan anak lelaki. Melahirkan seorang anak lelaki adalah berkah, tapi entah kenapa ketika melahirkan anak perempuan, berkah ini lebih terdengar seperti kesialan yang perlu didukung dengan pemberian motivasi dan kata-kata penyemangat, bukannya ucapan selamat.
Dan itu keluar dari mulut perempuan-perempuan Bali juga, yang seharusnya merasakan apa yang perempuan lain rasakan. Nah, yang begini ini lebih mengesalkan, khan?

Budaya patriarki akan terus ada selama masyarakat, dalam hal ini KITA, ikut terus mengkonstruksi dan melanggengkan budaya itu sendiri. Sudah saatnya perempuan-perempuan Bali masa kini menyadari hak dan kewajibannya, memahami apa itu kesetaraan gender dan tentu saja ikut memperjuangkannya. Bukan masalah meninggalkan nilai tradisi budaya. Jangan lupa bahwa budaya adalah hasil konstruksi manusia, yang berkembang seiring dengan perkembangan jaman dan kemampuan penalaran manusia. Budaya bukanlah sebuah nilai pasti yang tidak bisa kita ubah untuk menjadi yang lebih baik. Mau sampai kapan melanggengkan sebuah sistem yang mendiskreditkan perempuan? Sementara kita sendiri menyadari betapa sulitnya menjadi perempuan dalam sistem seperti ini. Apakah kita rela mewariskannya pada anak cucu kita kelak?

Bicara tentang kesetaraan gender bukan bicara soal perempuan untuk menjadi lebih dari lelaki. Rumusnya bukan perempuan > lelaki, tapi perempuan = lelaki. Rumus yang sebenarnya sangat bisa untuk diaplikasikan dalam budaya Bali - atau bahkan sebenarnya sudah ada dalam budaya Bali? ;) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar