Jumat, 12 Mei 2017

Kamu hamil, ya? Anaknya Cewek Apa COWOK???

"Kamu Hamil, Ya? Anaknya Cewek Apa COWOK???"

*untuk semua perempuan di luar sana, yang sedang membukakan jalan bagi jiwa-jiwa baru

photo by : Tu Dik 2.8photovideo


Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang paling sering saya hadapi belakangan ini.
Yes, i am pregnant. Saya sedang hamil. Ketika orang-orang mulai menyadari kehamilan saya akibat perut yang sudah tidak bisa disembunyikan lagi, saya mulai sering harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sejenis.

Sejatinya saya beruntung, begitu menikah saya hamil. Jadi saya tidak perlu menghadapi banyak pertanyaan "kapan hamil?" setelah saya menikah. Walaupun sebenarnya saya sangat siap untuk menjawab dan mendebat siapa pun yang berani menanyakan itu ke saya sih...
Keberuntungan kedua, bayi di dalam perut saya ini sangat-sangat bisa diajak kompromi. Di masa-masa awal kehamilan, badan saya yang kurus cuma sedikit bertambah gemuk dan masih terlihat "normal" di mata orang-orang. Saya juga tidak mengalami banyak masalah kesehatan. Morning sickness tentu, tapi saya lagi-lagi beruntung karena jadwal mengajar saya semester ini banyak di jam siang - ketika tubuh saya sudah "sembuh" dari muntah-muntah dan pusing di pagi hari. Perut saya juga tidak terlalu membesar hingga masuk bulan ke lima, itu pun masih bisa "disembunyikan" di balik pakaian longgar saya. Jadi selama beberapa bulan saya terbebas dari pertanyaan-pertanyaan kepo orang-orang di sekitar sana.

Kemudian terjadilah. Perut saya membesar. Saya benar-benar terlihat hamil. Mulai lah saya menghadapi pertanyaan legendaris : ANAKNYA CEWEK APA COWOK?

Pertanyaan ini muncul dari siapa pun. Mertua saya, kakek nenek mertua saya, paman bibi saya, teman-teman saya, mahasiswa saya, hingga teman-teman ekspatriat saya. Pertanyaannya sama memang, tapi sungguh, alasan mereka bertanya dan reaksi mereka ketika medengar jawaban saya sungguh berbeda.

Beberapa orang yang pola pikirnya masih konvensional - karena saya tidak mau memakai kata kolot - yang bertanya soal kelamin bayi saya punya satu tujuan : mengetahui apakah saya bisa menghasilkan pewaris untuk keluarga suami saya atau tidak. Entah apa kepentingannya, yang jelas soal anak laki-laki ini jadi masalah penting di Bali. Terimakasih patriarki!
Saya sering menjawab pertanyaan seputar kelamin ini dengan tidak serius. Jawaban saya berbeda-beda tergantung mood. Sering saya menjawab tidak tahu atau sengaja untuk tidak tahu. Biar "surprise" saya bilang. Tapi jawaban ini juga tidak bisa diterima dengan mudah oleh mereka. Katanya saya aneh. Katanya saya sebaiknya tahu apa kelamin anak saya. Kemudian mereka menyarankan saya untuk USG yang lebih akurat supaya kelamin bayi saya terlihat. Karena kelamin bayi adalah masalah yang penting. PENTING.

Sering saya mencoba menjawab dengan asal sebut laki-laki atau perempuan. Saya cuma mau melihat bagaimana reaksi mereka atas jawaban saya. Seringnya begini, ketika saya jawab anak saya laki-laki, orang yang bertanya akan dengan penuh suka cita memberi selamat, mendoakan, dan yang tidak bisa disembunyikan sekaligus membuat saya muak : menampilkan ekspresi lega. Seolah-olah bayi yang saya kandung ini adalah sesuatu yang sangat berharga dan bisa menyelamatkan hidup mereka. Mereka pun memandang saya dengan bahagia dan "penuh rasa terimakasih", semacam saya sedang membawa berlian berharga triliyunan di perut saya. 
Lain halnya bila saya jawab bayi saya perempuan. Hal pertama yang keluar dari mulut mereka adalah, "Tidak apa-apa, yang penting sehat, yang penting selamat. Cewek atau cowo "sama" aja kok." 
Dan kalimat itu tidak dibarengi dengan ekspresi kelegaan yang sama ketika saya mengatakan bayi saya laki-laki. Wow. Sungguh tulus sekali. Yang lebih menyebalkan, kebanyakan ibu-ibu alias manusia dengan jenis kelamin perempuan lah yang mengatakan kalimat sejenis ini kepada saya. Menyedihkan, bukan?

Reaksi yang berbeda saya dapatkan ketika pertanyaan yang sama diajukan oleh teman-teman ekspatriat saya. Umumnya mereka akan segera memberi selamat dengan senyum sumringah begitu tahu saya hamil, kemudian berkata : mengantarkan jiwa lain ke bumi sungguh sesuatu yang indah, saya bahagia mendengar kamu punya kesempatan ini. Jaga diri baik-baik, semoga kamu dan bayimu sehat. 
Bila mereka bertanya anak saya laki-laki atau perempuan, apa pun jawaban saya mereka akan berkata : Congratulation! Selamat! Saya yakin anakmu akan jadi anak yang cantik (bila perempuan) atau ganteng (bila laki-laki). Kalau pun saya bilang saya belum tahu atau memilih untuk tidak tahu, mereka tetap akan memberi selamat dan berkata : Ya, perempuan atau pun laki-laki saya yakin anakmu akan jadi anak yang hebat!
Sekian. Tanpa stigma, tanpa penilaian. Yang ada saya justru merasa senang karena mereka memang mengucapkan selamat dengan tulus, bahkan menunjukkannya dengan sikap yang juga tulus. Mempersilahkan saya duduk, berhenti merokok di dekat saya, menanyakan kondisi saya, memesankan saya makanan dan minuman, bertanya apakah saya nyaman atau tidak, dan lain-lain.

Perbedaan reaksi ini sungguh membuat saya sadar akan satu hal. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk merubah sikap sebagian besar orang di sekitar saya. Membuat mereka menyadari bahwa kelamin bukanlah sesuatu yang harus didewakan adalah sesuatu yang berat. Selama bertahun-tahun, seumur hidup mereka terbiasa hidup dengan stigma gender semacam ini. Sesuatu yang sudah sejak lama terjadi secara terus menerus seringkali dianggap benar. Maka sikap-sikap semacam ini jga dianggap benar.  
Terus terang, saya merasa dilecehkan jika mendengar kalimat soal kelamin bayi ini dilontarkan kepada saya. Melihat perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh orang-orang hanya karena perbedaan jenis kelamin bayi yang saya kandung sungguh merupakan hal yang membuat saya tidak nyaman. Kasihan anak saya, stigma gender pun sudah dia dapatkan jauh sebelum dia lahir. Kasihan saya, rasanya fungsi saya hanya dihargai sebagai penghasil anak, pembuat keturunan. Bukan dihargai sebagai manusia seutuhnya. Nilai saya ditentukan berdasarkan mampu tidaknya saya menghasilkan anak laki-laki. Titik.

Saya paham betul dengan pola patriarki di Bali. Yang saya tidak paham adalah mengapa banyak perempuan yang memilih ikut mempertahankan ketidak-setaraan gender ini. Budaya Bali memang sering dikaitkan dengan agama Hindu. Tapi sampai sekarang saya belum menemukan satu kalimat pun dalam ajaran agama Hindu yang menyebutkan masalah perbedaan laki-laki dan perempuan. Yang ada justru ajaran soal keseimbangan, dimana laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang sama untuk menciptakan sebuah harmoni. Bukannya si laki-laki harus berada di atas dan perempuan di bawah, keduanya justru harus berada di dua kutub berlawanan yang sejajar untuk menciptakan keseimbangan.

Kalau ajaran agama yang dipuja saja bicara soal kesetaraan dan keseimbangan, mengapa manusia-manusianya bicara soal prioritas laki-laki?

Saya muak dengan semua nilai yang mengagungkan anak laki-laki di budaya Bali. orang-orang, terumana ibu-ibu, harusnya sadar bahwa melanggengkan budaya patriarki semacam ini tidak akan membawa dampak positif bagi dirinya atau pun bagi  keturunannya.  Ibu-ibu harusnya berhenti menciptakan anak-anak lelaki yang terbiasa "sombong" akibat menyangka dirinya lebih dibanding perempuan. Yang paling penting, ibu-ibu ini harus belajar berhenti mendiskreditkan perempuan lain. Apakah dia akan menghasilkan anak laki-laki atau perempuan, sungguh bukan sebuah hal yang harus dipertanyakan apalagi diperdebatkan. Perempuan harusnya saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Hamil dan punya anak bukanlah sebuah kompetisi tapi sebuah perjalanan. Anugrah dan tanggung jawab. Sebuah proses alami kehidupan. Anak laki-laki atau perempuan, memangnya Anda siapa bisa menilai yang satu lebih berharga dari yang lain?



Tidak ada komentar:

Posting Komentar