Selasa, 30 Mei 2017

Kepada Angin, Tertanda, Perempuan Dengan Karma Yang Belum Lunas

Kepada Angin,
Tertanda,
Perempuan Dengan Karma Yang Belum Lunas

"Sandi Yuda" karya penulis


Ada cerita tentang orang-orang yang lahir kembali ke dunia dengan membawa karma yang belum lunas, urusan yang belum selesai, utang yang belum terbayarkan. Saya adalah satu diantara orang-orang itu. Saya lahir dengan membawa sebuah beban – atau titipan? – yang baru saya sadari setelah lebih dari seperempat abad hidup di dunia. Saya terikat pada sesuatu, entah apa, yang membuat saya berakhir di pusaran yang sama : bayangan tentang dia yang kemudian saya sebut Angin.

Saya bertemu dengannya lebih dari satu dekade lalu. Pertemuan yang sesungguhnya tak bisa saya ingat dengan jelas tapi berhasil membekas. Pertemuan yang kemudian berlalu begitu saja, bertahun-tahun, tanpa kelanjutan dan kejelasan. Meski jalur komunikasi saya dan dia tidak pernah betul-betul hilang, saya melupakan nyaris semua tentang dia. Nyaris, karena ketika saya sepenuhnya lupa, dia selalu datang mengingatkan saya. Angin datang sebagai bayangan dalam mimpi, menampakkan sosok yang terluka dan sendiri. Mimpi yang selalu menggoreskan rasa sakit ketika saya terbangun dari tidur. Begitu terus, berkali-kali, dengan pola intensitas yang tak bisa saya tebak.

Ada masa dimana saya tidak mendapatkan mimpi tentang Angin samasekali dalam rentang waktu yang cukup lama. Sekeras apa pun saya memikirkannya, saya tidak bisa melihat Angin dalam mimpi saya. Lalu ada masa dimana Angin tiba-tiba datang, bahkan ketika saya baru sesaat tertidur dan mustahil untuk bermimpi. Namun ada satu hal yang tak pernah berubah. Sosok angin selalu datang dengan membawa rasa dingin yang sama, kesendirian yang beku. Bayangan hitam yang selalu mengganggu.

Pernah suatu ketika saya melihat Angin dalam penderitaan yang sangat. Di satu ruangan gelap dan dingin, Angin tertunduk dengan kesedihan mendalam. Dia sendiri. Bahkan tak ada cukup cahaya untuk bisa membuatnya terlihat dengan jelas. Hati saya rasanya seperti tersayat. Saya menangis dalam tidur lalu bangun dengan nafas tercekat. Butuh waktu beberapa lama untuk menenangkan diri saya. Mengatur nafas pelan dan panjang sampai jantung saya berdetak dengan normal. Saya mengalami sakit kepala yang sangat selama beberapa menit. Mimpi yang paling menyakitkan yang pernah saya alami.
“Cuma mimpi”, kata saya dalam hati.
“Tak akan terjadi apa-apa padanya, semua pasti baik-baik saja”, lanjut saya.

Tapi hati kecil saya berbisik pelan, “Dasar pembohong…”

Dan benar saja. Saya kemudian mengetahui sesuatu terjadi pada Angin, benar-benar terjadi pada dia di dunia nyata. Sesuatu yang mungkin cukup untuk melemparnya ke titik rendah dalam hidupnya.

Saya kemudian mulai curiga, mimpi-mimpi yang saya lihat tentang Angin mungkin bukan sebatas ilusi. Mimpi-mimpi itu tidak datang sebagai bentuk obsesi atau refleksi saya terhadap dia. Mimpi-mimpi itu mungkin sebuah kode, sebuah pesan yang tak mampu saya baca. Satu yang saya sadari, ketika saya memimpikan Angin, ada sesuatu yang sedang, akan, atau sudah terjadi pada dia. Sesuatu yang besar yang cukup untuk membuat saya menerima pesan, “Hei kamu, Angin sedang mengalami hal “penting” dalam hidupnya.

Saya bicara pada seorang shaman. Perempuan tua berambut gimbal putih yang kurus dan tak pernah putus dari rokok. Saya menceritakan semua hal yang saya alami dan kaitannya dengan Angin. Saya mengalami mimpi-mimpi itu selama lebih dari sepuluh tahun. Satu dekade lebih adalah waktu yang terlalu lama untuk hal sepele. Pada shaman itu saya bertanya, bukan tentang makna mimpi-mimpi saya. Saya bertanya, siapa saya dan siapa dia. Kenapa saya mendapatkan pesan tentang Angin, dia yang bahkan bukan siapa-siapa bagi saya.

Shaman itu tertawa.
“Orang asing katamu?”
“Iya, orang asing. Saya rasa kami adalah dua bintang dengan jalur berbeda yang kebetulan berpapasan. Mungkin frekuensi kami sama, makanya saya bisa mendapat pesan yang seharusnya tidak saya terima. Semacam menangkap gelombang yang kebetulan melintas?,”
“Ah...”
Shaman itu tersenyum. Dia menghisap rokoknya, mengepulkan asap dengan nafas panjang-panjang. “Dengar, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, Sayang,” katanya mulai menjelaskan. “Kamu tidak kebetulan kenal dengan saya. Kamu tidak kebetulan menceritakan ini kepada saya. Saya tidak kebetulan harus menjelaskan ini padamu. Bagaimana kalau semua sudah ditakdirkan? Atau… memang sepantasnya harus terjadi?”
Saya menghela nafas. Jawaban shaman ini bukan tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Sejatinya jawabannya membenarkan kecurigaan saya, bahwa apa yang saya duga tentang mimpi-mimpi saya benar adanya.
“Jadi menurutmu, apa yang sedang terjadi?” tanya saya.
“Saya sudah bisa merasakan bahwa kalian, kamu dan dia, punya satu hubungan kuat. Mungkin hubungan itu tidak bisa kamu rasakan sekarang, di masa kini. Tapi jejaknya seharusnya masih bisa kamu rasakan.”
Saya mengernyit, “Jejak?”
“Iya. Jejak. Bekas. Sisa. Mimpi-mimpimu itu, bukankah kamu sudah tahu kalau perasaanmu pada dia lebih dari sekedar perasaan pada orang asing? Bahkan sejak awal melihatnya kamu sudah “jatuh cinta” bukan? Sesuatu menggerakkan kamu untuk memilihnya. Sesuatu yang berasal dari masa lalu. Jejak itu!”
Saya menghela nafas, shaman itu tersenyum. Rasa-rasanya senyum itu lebih seperti intimidasi bagi saya.
“Saya tak perlu bicara banyak,” katanya. “Buat apa saya menjelaskan panjang lebar pada orang yang sebenarnya sudah tahu tapi pura-pura tidak paham. Kamu bicara pada saya bukan sebagai orang yang mencari jawaban. Jawaban itu sudah ada padamu. Kamu tahu. Kamu cuma sedang berusaha mencari keyakinan atas apa yang kamu ketahui.” Katanya.
Wajah saya mengeras sementara senyum di wajah Si Shaman berubah menjadi seringai. Dia kemudian mematikan rokok yang telah pendek, mengambil yang baru dari dalam kotak lalu menyalakannya lagi.
“Saya tidak tahu apa hubungan saya dengan dia,” kata saya.
“Hubungan kamu dengan dia? Hmm… saya tak akan ragu mengatakan bahwa kamu dan dia punya hubungan yang sangat kuat di masa lalu. Saya rasa ini lebih dari sekedar hubungan cinta-cintaan romantis. Kalian berdua terlibat sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih kuat daripada sekedar cinta erotis.”
Shaman itu menghisap rokoknya dalam dalam, tiga kali, sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Saya sudah pernah melihat kasus yang sama. Jejak masa lalu yang terbawa ke kehidupan masa kini tak mungkin jejak yang lemah. Dia harus cukup kuat untuk bisa meninggalkan rasa, mengingatkan pembawanya kepada masa lalu yang terlupakan. Semacam utang yang tak boleh lupa dibayar, jejak itu akan terus terbawa sampai utangmu lunas.”
“Utang? Konsep ini terdengar seperti karma buat saya.”
“Karma? Ah, saya lupa, istilah itu mungkin yang paling familiar buat kamu. Oke, saya akan sebut karma saja sekarang. Orang-orang lahir dengan membawa karmanya masing-masing. Jiwa-jiwa yang terlahir di bumi bukan sepenuhnya jiwa baru, sebagian adalah mereka yang sudah berkali-kali lahir, produk daur ulang. Jiwa tua, begitu mereka disebut. Kamu salah satunya. Ah, jangan mengelak. Tak perlu dibahas, toh kamu sebenarnya juga sudah sadar bahwa jiwamu itu sudah tua sekali. Jika tidak kesadaranmu tak akan seperti sekarang.”
Saya menelan ludah mendengar ucapan shaman itu. Saya ditampik bahkan sebelum saya menjawab.
“Begini,” lanjutnya. “Apa yang kamu lihat dalam mimpi itu adalah sebuah pesan, gambaran. Kamu mendapat pesan tentang apa yang orang itu alami, entah yang sudah, belum atau sedang terjadi padanya. Sesuatu yang terjadi padanya itu adalah sesuatu yang besar, yang mungkin berpengaruh kuat pada dia, pada jiwanya. Itu kenapa pesannya bisa punya cukup kekuatan untuk bisa sampai padamu.”
“Tapi yang saya lihat selama ini selalu sama. Saya selalu melihat dia sendirian, sebuah perasaan yang membuat sekujur tubuh saya kedinginan. Penderitaan…”
Shaman itu menghisap rokoknya lagi.
“Saya belum selesai membahas soal karma kalian. Saya sudah katakan bila kehidupan masa lalu kalian pasti punya keterkaitan yang kuat. Saya rasa saya tahu ikatan macam apa yang bisa membawa jejak sedemikian kuat dan membuat kamu berfokus pada pengelihatan-pengelihatan tentang penderitaan yang dia alami. Jiwa kamu sudah pernah kehilangan dia sebelumnya. Karenanya di masa sekarang jejak itu mencegah kamu merasakan kesakitan yang sama dengan memberimu pesan lewat mimpi.”
“Sebentar, beri saya waktu untuk mencernanya,” jawab saya.
“Begini. Kamu dan dia punya sebuah ikatan kuat. Dia sosok yang sangat penting buat kamu. Kamu kehilangan dia dengan cara yang entah apa, yang meninggalkan luka dan kesakitan yang sangat di jiwamu. Luka yang bekasnya masih terbawa hingga sekarang. Kemudian jiwamu dan jiwanya lahir kembali, dalam satu dimensi waktu yang sama : saat ini. Kalian bertemu lagi. Jiwamu mengenali jiwanya begitu kalian bertemu, bekas lukamu jadi “terasa”. Kamu menandai dia sebagai sesuatu yang berharga karena jiwamu mengenalinya, kasarnya kamu jatuh cinta sejak pertama melihatnya. Lalu jejak yang tertinggal di jiwamu menjadi aktif, mengantarkan pesan-pesan kepada kamu yang sekarang. Jiwamu sudah pernah sangat menderita karena kehilangan dia. Sebisa mungkin di kehidupan yang sekarang kamu tak boleh merasakan hal yang sama. Maka yang terjadi adalah dorongan untuk melindungi. Dorongan untuk memastikan bahwa dia akan baik-baik saja. Kamu jadi sensitif pada hal-hal buruk yang terjadi padanya, dan lewat kamu pesan-pesan itu tersampaikan pada dia. Kamu pasti punya dorongan besar untuk menghubunginya setiap kali kamu bermimpi tentang dia, bukan?”
“Ya dan tidak.”
“Saya tidak bicara tentang kamu betul-betul menghubungi dia atau tidak, tapi tentang dorongan untuk menghubunginya.”
“Baiklah… Yaaa… Saya memang selalu mengambil ponsel saya, mengetik panjang lebar setiap kali saya bermimpi tentangnya. Meskipun kebanyakan dari pesan-pesan itu kemudian saya hapus. Saya tidak mau menakutinya, kesannya saya seperti orang gila yang terobsesi padanya.”
Shaman itu tertawa terbahak-bahak sampai terbatuk.
“Kamu lucu sekali, Sayang,” katanya. “Kamu memang terobsesi padanya, bukan? Jiwamu sudah menandainya begitu kalian bertemu. Obsesi itu tak bisa kamu cegah, umurnya sudah ratusan mungkin ribuan tahun!”
“Sudahlah. Berhenti menggoda saya. Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
Saya menjadi sangat tidak sabar dengan shaman ini.
“Saya rasa hubungan kalian tak akan pernah bisa terputus. Koneksi yang kalian punya sangat kuat, sebuah ikatan yang terlalu kuat untuk bisa diputus. Bayangkan, dia terbawa sampai saat ini, apa kamu pikir saya atau kamu mampu berbuat sesuatu pada ikatan macam itu?"
“Lalu?”
“Kamu cuma perlu menerima pesan-pesan itu dengan lebih tenang. Terima saja. Kamu toh sudah menyadari kalau dia “penting” buat kamu. Kamu sudah memahami hubungan macam apa yang kalian miliki. Meski hubungan itu tidak bisa kamu jelaskan dengan definisi tertentu, tapi menyadari bahwa ikatan itu ada sudah cukup untuk saat ini. Apakah kamu bisa menerimanya?”
“Ya…”
“Nah, selanjutnya kamu harus menyadari satu hal. Ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan di dunia ini. Ada hal-hal yang tak bisa kita cegah. Sama seperti proses jiwamu kehilangan jiwa dia dulu, itu tak bisa dicegah. Yang terjadi sekarang juga sama. Mimpi-mimpimu itu mungkin bukan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi padanya, tapi untuk mempersiapkan kamu dan dia bila kemungkinan terburuk harus terjadi: kalian mengulangi takdir yang sama, kehilangan yang menyakitkan. Sampai di sini ada yang tidak bisa kamu terima?”
“Lanjutkan saja,” jawab saya.
“Begini, Sayang… Yang harus kamu lakukan cuma satu. Jujurlah pada dirimu sendiri. Kamu harus membuka diri pada pesan-pesan yang disampaikan lewat mimpimu. Jangan menolak, jangan terlalu banyak berspekulasi. Saya seharusnya tak perlu mengajarimu lagi, kamu sudah bisa merasakan setiap pesan yang disampaikan lewat mimpimu. Masalah kamu saat ini adalah kamu masih sering menolak untuk menerimanya. Itu hanya akan menguras lebih banyak energimu, Sayang. Kamu akan jadi sangat lelah. Ketika kamu bisa menerima, pesan-pesan itu akan menjadi lebih jelas dan tak akan terasa mengganggu lagi.”
Shaman itu menghisap lagi rokoknya, berkali-kali. Membiarkan saya terdiam. Dia hanya duduk dan menunggu, dengan wajah yang terkesan tidak peduli. Saya mengingat lagi perasaan-perasaan yang hadir setiap kali saya bermimpi tentang Angin. Panik. Sedih. Takut. Kehilangan. Semua yang dikatakan shaman di depan saya tak satu pun meleset dari apa yang saya alami. Tiba-tiba ketakutan besar menyergap saya, bulu kuduk saya berdiri.
“Kamu… Apa kamu pikir saya akan merasakan kehilangan yang sama lagi di kehidupan ini?”
Shaman itu mengangkat kedua alisnya.
“Oh, Sayang… Saya tak bisa mengetahui hal-hal semacam itu. Saya tidak punya hak untuk itu. Tapi saya rasa jiwamu yang sekarang justru sudah sangat dipersiapkan untuk kemungkinan paling buruk.”
“Mak… maksudmu?”
“Hmm… Kamu dan dia sama-sama terlahir di dimensi waktu yang sama. Jiwa kalian bertemu lagi. Tapi hubungan yang mengikat kalian di dimensi waktu ini tidak sama dengan apa yang mengikat kalian di masa lalu. Bukankah itu sudah merupakan sebuah persiapan untuk “kehilangan”? Maksud saya, hei, sekarang kamu dan dia hanya teman, bahkan dari ceritamu sendiri teman dekat saja bukan. Kalian cuma dua orang asing. Memangnya apa yang bisa jadi sangat menyakitkan dari kehilangan “orang asing”? Jiwamu dan jiwanya sudah belajar banyak, mungkin kalian sendiri yang memilih untuk tidak lagi ada dalam ikatan yang terlalu kuat. Rasa sakit di masa lalu mungkin sudah cukup untuk membuat jiwa kalian sama-sama belajar membebaskan. Dan hidup kalian di masa ini adalah proses pembebasan itu. Jejak keterikatan memang masih ada, tapi hanya jejak. Bekas luka yang memungkinkan kalian untuk mengingat dan tidak jatuh ke penderitaan yang sama.”
“Saya rasa apa yang kamu bilang masuk akal…”
“Ah, jangan bicara akal-akalan untuk hal seperti ini. Keberadaan saya sebagai shaman dan kamu yang bicara pada saya tentang pesan mimpi saja sebenarnya sudah cukup gila,” jawab shaman itu sambal tertawa renyah.
Saya tersenyum membenarkan perkataannya. “Jiwa saya mungkin sudah cukup tua untuk bisa tersadarkan atas hal-hal absurd semacam ini. Tapi bagaimana dengan dia? Saya rasa dia mungkin saja tak mengingat apa pun dan menganggap saya gila kalau tahu semua ini.”
“Saya tak yakin,” jawab Si Shaman. “Saya rasa dia juga merasakan hal yang sama. Mungkin tidak sepenuhnya sadar seperti apa yang kamu alami, tapi setidaknya dia pasti menyadari bahwa kamu punya koneksi yang aneh dengan dirinya. Semua mimpi – ah, tidak semua – sebagian mimpi yang kamu ceritakan padanya dan “kebetulan” terjadi pada hidupnya pasti lebih dari cukup untuk membuat dia sadar ini tak biasa. Jiwanya juga pasti menuntun dia untuk tidak benar-benar terputus dengan kamu. Sama dengan jiwamu yang selalu menghadirkan bayangannya ketika kamu mulai lupa padanya. Kalau pun dia tak berusaha mencari kamu seperti kamu yang berusaha mencari dia, jiwanya akan membuat dia ada di posisi yang mudah untuk kamu temukan. Sejak bertemu dia kamu tak pernah benar-benar kehilangan dia, bukan?”
“Ya, ada masa dimana saya tidak mengontak dia untuk waktu yang lama. Tapi kemudian saya menemukan “koneksi” lagi dengannya, lewat berbagai media.”
“Nah, itu sudah cukup untuk membuktikan perkataan saya tadi. Sayang, kita terlahir di dunia ini untuk kesekian kalinya bukanlah untuk mengulangi takdir. Jiwa-jiwa tua punya utang atau kewajiban yang belum lunas, pelajaran yang belum selesai. Kamu juga sedang mengalami yang sama. Dia juga. Kalian sedang ada dalam sebuah proses pembebasan. Jadi kamu seharusya tak lagi terbebani dengan hal-hal semacam ini. Kamu beruntung karena tersadar dengan cepat. Dia? Mungkin juga sedang berproses, Dan itu tidak penting buatmu. Kamu dan jiwamu lah yang seharusnya jadi fokusmu. Terimalah prosesmu. Berhentilah berpikir terlalu banyak. Dengarkan apa yang seharusnya kamu dengarkan dan percaya. Paham?”
Shaman itu tahu saya butuh waktu untuk bisa menerima dan memahami ucapannya. Dia beranjak pergi, meninggalkan puntung-puntung rokok dan abu dalam asbak.

Angin dingin tiba-tiba berhembus, menyadarkan saya kalau waktu sudah terlalu malam. Saya pulang dalam diam, membawa kesadaran saya yang lama dengan beban yang lebih ringan.

*Badung, 30 Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar