I
Adopt A Dog When I Know I Am Pregnant
(Saya
Mengadopsi Seekor Anjing Ketika Saya Tahu Saya Sedang Hamil)
*untuk
Zoro No Zoro, Bulu, Ohany, Jiro, Russel dan semua anjing yang pernah saya
pelihara*
Zoro No Zoro |
Begitu
saya melihat tanda positif di test pack, hal pertama yang saya pikirkan adalah
: Ok. I am going to have a baby. I have to get a buddy for the baby.
Serius.
Hal
pertama yang saya pikirkan adalah saya harus punya seseorang yang bisa saya
percaya untuk menjaga dan menemani anak saya. Seseorang yang punya kualitas
mencintai tanpa mengharapkan imbalan, seseorang yang punya kualitas ketulusan
tiada tanding. Seseorang yang bukan manusia, tentu.
Maka
berakhirlah saya dalam pencarian anak adopsi : seekor anjing bali.
Saya
tidak sembarangan asal adopsi anjing. Pengalaman saya berurusan dengan
organisasi yang bergerak di bidang kesejahteraan satwa bagi saya cukup sebagai
pertimbangan keputusan saya ini. Lebih lagi saya sadar bahwa rumah saya memang
membutuhan anjing baru. Ada dua anjing kecil yang tersisa di rumah ini, Ohany
dan Bulu. Dua-duanya “tidak bisa diandalkan”. Ohany sudah tua dan buta.
Sementara Bulu pengecut tingkat dewa. Hana, alpha (anjing pemimpin kelompok),
satu-satunya anjing yang bisa diandalkan di rumah ini, baru beberapa minggu
meninggal karena sakit. Otomatis keseimbangan di rumah ini terganggu. Ohany dan
Bulu tidak henti-hentinya bertengkar – bukan dengan satu sama lain tapi dengan
anjing-anjing tetangga dan anjing liar yang mulai berani memasuki teritori yang
ditinggalkan Hana. Mengancam Ohany dan Bulu. Keamanan di rumah juga mulai saya
khawatirkan, Ohany punya pendengaran yang bagus tapi buta. Dia sering keliru
menggonggongi saya atau penghuni rumah lain sebagai orang asing. Atau menyangka
orang asing adalah salah satu dari kami. Bulu? Ah, si pengecut itu tak usah
ditanya.
Banyak
yang mengganggap keputusan saya mengadopsi anjing ketika saya sedang hamil
adalah keputusan yang gila – dan tentu, salah. Katanya saya sedang dalam
kondisi yang spesial, jadi sebaiknya saya tak usah dekat-dekat dengan binatang
apalagi anjing. Kotor, nanti tertular penyakit bagaimana? Yang lain bilang,
saya sebaiknya tidak adopsi anjing. Nanti capek lho, ngurus anjing sama ngurus
anak. Yang ada nanti anjingnya terlantar. “Banyak kok orang-orang yang malah
menjual, menghibahkan, menyingkirkan binatang peliharaan ketika hamil. Kamu kok
malah sebaliknya? Gila!”
Tapi
tentu saya yang keras kepala ini tak mungkin menuruti satu pun larangan itu. Pada
suatu siang yang panas, saya dan adik sepupu saya naik motor ke daerah Nusa
Dua, sekitar satu jam dari Denpasar, untuk mengambil seekor anak anjing bali
hitam yang kemudian saya beri nama : Zoro No Zoro.
Saya
tak minta ijin pada siapa pun untuk mengadopsinya. Tidak juga pada suami saya.
Kenapa? Karena kami sudah bersahabat cukup lama, lalu pacaran
sekian lama juga. Dia sudah sangat paham dengan pola pikir saya dan menyadari
jika melarang saya adalah sebuah hal yang mustahil. Lagipula dia juga menyukai anjing. Keluarganya? Saya cukup
yakin mereka tidak akan keberatan dengan adanya anggota keluarga baru. Satu hal yang pasti, Zoro No Zoro adalah anak adopsi saya, maka saya
lah yang kemudian akan bertanggung jawab penuh pada anak ini. Rasa-rasanya tak mungkin ada yang keberatan di rumah ini.
Zoro
kemudian tinggal di rumah ini, bersama keluarga ini. Tiga hari pertama adalah
ujian berat. Saya harus memaksanya tinggal di kendang setiap malam. Dia masih
terlalu kecil untuk dibiarkan berkeliaran. Ohany dan Bulu juga masih asing
dengan keberadaannya. Saya tak mau mereka bertengkar dan menghasilkan masalah
baru kemudian. Zoro yang masih “bayi” juga masih belum terbiasa tidur tanpa
ibunya. Jadilah sepanjang malam dia menangis dan meraung. Saya harus
menjenguknya tiap beberapa jam, menyuruhnya diam sampai dia tidur, baru
kemudian saya kembali tidur. Mengapa tak menaruh kandangnya di kamar saya? Tidak.
Saya punya prinsip yang sangat ketat soal wilayah teritori saya. Kamar adalah
wilayah yang sepenuhnya jadi kuasa saya. Saya tidak nyaman bila ada yang masuk
ke kamar saya tanpa ijin. Pada manusia saja saya marah, jadi binatang juga tak
bisa masuk.
Awalnya,
rutinitas memelihara “bayi” anjing ini juga mengkhawatirkan banyak orang.
Memberi makan, mengajak bermain, memandikan dan membuatnya terbiasa dengan
rumah ini dan penghuninya memang butuh waktu dan upaya. Semua saya lakukan
dalam keadaan hamil. Mungkin beberapa orang khawatir dengan saya, tapi saya
percaya pada apa yang saya rasakan. Saya senang, tubuh dan bayi saya juga
baik-baik saja. Saya cuma butuh waktu sekian minggu, sampai anak ini bisa
mandiri dan bertingkah seperti “anjing betulan”.
Umur
Zoro sekarang sudah 7 bulan. Remaja untuk ukuran anjing. Dia sudah bisa
diandalkan. Beberapa minggu setelah adopsi, anjing-anjing tetangga dan anjing
liar juga berhenti datang ke rumah ini. Mungkin mereka sudah mencium bau calon alpha
baru. Zoro juga sudah bisa menggonggong. Setiap ada orang asing yang datang,
dia bertindak seperti alarm. Walau terkadang alarmnya masih agak terlambat,
sih…
Yang
paling menyenangkan bagi saya adalah, dia selalu mengantar saya ke kamar mandi.
Rumah yang saya tempati adalah rumah bali dengan struktur bangunan terpisah.
Saya tidur di Bale Dauh, bangunan yang ada di bagian rumah sikut satak
(struktur utama bangunan Bali) sementara kamar mandi ada jauh di ujung di dekat
teba (kebun belakang). Jaraknya mungkin sekitar 20 meter (atau lebih?). Untuk
ke sana, saya harus berjalan beberapa langkah dan kalau malam sering gelap
karena minim lampu. Hamil membuat saya rajin buang air kecil ke kamar mandi,
siang atau pun malam. Kebiasaan saya minum banyak air juga sepertinya membuat
rutinitas buang air kecil ini semakin sering. Dan Zoro adalah pengantar setia
saya.
Kalau
siang, Zoro yang berbulu hitam memang hobi nongkrong di depan pintu kamar
mandi. Adem mungkin. Kalau malam, Zoro akan siaga di depan pintu kamar saya.
Dia akan segera bangun bila mendengar pintu kamar saya terbuka, bergegas
berdiri dengan kuping tegak lalu berjalan mengikuti saya ke kamar mandi. Jam
berapa pun dalam keadaan apa pun. Bulu dan Ohany juga kemudian melakukan hal
yang sama. Tiga-tiganya sekarang tidur di sekitaran bale dauh tempat saya tidur.
Otomatis, setiap malam setiap kali ke kamar mandi, ada tiga anak yang mengikuti
saya. Ditambah dengan suami saya yang tentu saja tak akan membiarkan saya
berjalan malam-malam ke kamar mandir sendirian, jadilah kami beriring-iringan. Bulu
di depan, Ohany dan Zoro di belakang. Mereka akan menunggu di depan kamar mandi
dengan kepala, kuping dan ekor tegak. Siaga penuh sampai saya keluar dari kamar
mandi, lalu kemudian kembali mengawal saya untuk kembali ke kamar. Kalau
dipikir-pikir, kelakuan mereka yang seperti ini memang terkesan lucu. Memangnya
apa yang mungkin terjadi pada saya dalam perjalanan ke kamar mandi? Plus
keberadaan suami di samping saya. Tapi di sini letak kualitas anjing-anjing itu.
Mereka bertiga, yang “cuma “anjing saja peduli pada saya. Mereka mengawal saya
meski hanya untuk ke kamar mandi. Meski sebenarnya bahaya yang saya hadapi
dalam perjalanan beberapa meter itu minim, mereka tetap siaga penuh, siap sedia
menghadapi apa pun yang mungkin menghadang.
Ini
yang saya maksud dengan ketulusan tiada tanding. Anjing adalah satu-satunya
makhluk yang saya kenal yang bisa mencintai manusia dengan sangat tulus. Tak
peduli bagaimana perlakuanmu kepadanya, dia akan tetap setia menjagamu.
Pengalaman-pengalaman seperti ini juga yang meyakinkan saya untuk menyiapkan
seorang teman bagi bayi saya. Seorang teman yang kelak akan bisa dia percaya
sepenuhnya. Teman yang tidak akan berkhianat. Teman yang akan selalu bahagia
melihat dia. Teman yang tulus. Seekor anjing bali bernama Zoro No Zoro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar