Kepada
Angin,
Tertanda,
Perempuan
Dengan Karma Yang Belum Lunas
"Sandi Yuda" karya penulis |
Ada
cerita tentang orang-orang yang lahir kembali ke dunia dengan membawa karma
yang belum lunas, urusan yang belum selesai, utang yang belum terbayarkan. Saya
adalah satu diantara orang-orang itu. Saya lahir dengan membawa sebuah beban –
atau titipan? – yang baru saya sadari setelah lebih dari seperempat abad hidup
di dunia. Saya terikat pada sesuatu, entah apa, yang membuat saya berakhir di
pusaran yang sama : bayangan tentang dia yang kemudian saya sebut Angin.
Saya
bertemu dengannya lebih dari satu dekade lalu. Pertemuan yang sesungguhnya tak
bisa saya ingat dengan jelas tapi berhasil membekas. Pertemuan yang kemudian
berlalu begitu saja, bertahun-tahun, tanpa kelanjutan dan kejelasan. Meski
jalur komunikasi saya dan dia tidak pernah betul-betul hilang, saya melupakan
nyaris semua tentang dia. Nyaris, karena ketika saya sepenuhnya lupa, dia
selalu datang mengingatkan saya. Angin datang sebagai bayangan dalam mimpi,
menampakkan sosok yang terluka dan sendiri. Mimpi yang selalu menggoreskan rasa
sakit ketika saya terbangun dari tidur. Begitu terus, berkali-kali, dengan pola
intensitas yang tak bisa saya tebak.
Ada
masa dimana saya tidak mendapatkan mimpi tentang Angin samasekali dalam rentang
waktu yang cukup lama. Sekeras apa pun saya memikirkannya, saya tidak bisa
melihat Angin dalam mimpi saya. Lalu ada masa dimana Angin tiba-tiba datang,
bahkan ketika saya baru sesaat tertidur dan mustahil untuk bermimpi. Namun ada
satu hal yang tak pernah berubah. Sosok angin selalu datang dengan membawa rasa
dingin yang sama, kesendirian yang beku. Bayangan hitam yang selalu mengganggu.
Pernah
suatu ketika saya melihat Angin dalam penderitaan yang sangat. Di satu ruangan
gelap dan dingin, Angin tertunduk dengan kesedihan mendalam. Dia sendiri. Bahkan
tak ada cukup cahaya untuk bisa membuatnya terlihat dengan jelas. Hati saya
rasanya seperti tersayat. Saya menangis dalam tidur lalu bangun dengan nafas
tercekat. Butuh waktu beberapa lama untuk menenangkan diri saya. Mengatur nafas
pelan dan panjang sampai jantung saya berdetak dengan normal. Saya mengalami
sakit kepala yang sangat selama beberapa menit. Mimpi yang paling menyakitkan
yang pernah saya alami.
“Cuma
mimpi”, kata saya dalam hati.
“Tak
akan terjadi apa-apa padanya, semua pasti baik-baik saja”, lanjut saya.
Tapi
hati kecil saya berbisik pelan, “Dasar pembohong…”
Dan
benar saja. Saya kemudian mengetahui sesuatu terjadi pada Angin, benar-benar
terjadi pada dia di dunia nyata. Sesuatu yang mungkin cukup untuk melemparnya
ke titik rendah dalam hidupnya.
Saya
kemudian mulai curiga, mimpi-mimpi yang saya lihat tentang Angin mungkin bukan
sebatas ilusi. Mimpi-mimpi itu tidak datang sebagai bentuk obsesi atau refleksi
saya terhadap dia. Mimpi-mimpi itu mungkin sebuah kode, sebuah pesan yang tak
mampu saya baca. Satu yang saya sadari, ketika saya memimpikan Angin, ada
sesuatu yang sedang, akan, atau sudah terjadi pada dia. Sesuatu yang besar yang
cukup untuk membuat saya menerima pesan, “Hei kamu, Angin sedang mengalami hal
“penting” dalam hidupnya.
Saya
bicara pada seorang shaman. Perempuan
tua berambut gimbal putih yang kurus dan tak pernah putus dari rokok. Saya
menceritakan semua hal yang saya alami dan kaitannya dengan Angin. Saya
mengalami mimpi-mimpi itu selama lebih dari sepuluh tahun. Satu dekade lebih
adalah waktu yang terlalu lama untuk hal sepele. Pada shaman itu saya bertanya, bukan tentang makna mimpi-mimpi saya.
Saya bertanya, siapa saya dan siapa dia. Kenapa saya mendapatkan pesan tentang
Angin, dia yang bahkan bukan siapa-siapa bagi saya.
Shaman
itu tertawa.
“Orang
asing katamu?”
“Iya,
orang asing. Saya rasa kami adalah dua bintang dengan jalur berbeda yang
kebetulan berpapasan. Mungkin frekuensi kami sama, makanya saya bisa mendapat
pesan yang seharusnya tidak saya terima. Semacam menangkap gelombang yang
kebetulan melintas?,”
“Ah...”
Shaman
itu tersenyum. Dia menghisap rokoknya, mengepulkan asap dengan nafas
panjang-panjang. “Dengar, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini,
Sayang,” katanya mulai menjelaskan. “Kamu tidak kebetulan kenal dengan saya.
Kamu tidak kebetulan menceritakan ini kepada saya. Saya tidak kebetulan harus menjelaskan
ini padamu. Bagaimana kalau semua sudah ditakdirkan? Atau… memang sepantasnya
harus terjadi?”
Saya
menghela nafas. Jawaban shaman ini
bukan tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Sejatinya jawabannya membenarkan
kecurigaan saya, bahwa apa yang saya duga tentang mimpi-mimpi saya benar
adanya.
“Jadi
menurutmu, apa yang sedang terjadi?” tanya saya.
“Saya
sudah bisa merasakan bahwa kalian, kamu dan dia, punya satu hubungan kuat.
Mungkin hubungan itu tidak bisa kamu rasakan sekarang, di masa kini. Tapi jejaknya
seharusnya masih bisa kamu rasakan.”
Saya
mengernyit, “Jejak?”
“Iya.
Jejak. Bekas. Sisa. Mimpi-mimpimu itu, bukankah kamu sudah tahu kalau
perasaanmu pada dia lebih dari sekedar perasaan pada orang asing? Bahkan sejak
awal melihatnya kamu sudah “jatuh cinta” bukan? Sesuatu menggerakkan kamu untuk
memilihnya. Sesuatu yang berasal dari masa lalu. Jejak itu!”
Saya
menghela nafas, shaman itu tersenyum.
Rasa-rasanya senyum itu lebih seperti intimidasi bagi saya.
“Saya
tak perlu bicara banyak,” katanya. “Buat apa saya menjelaskan panjang lebar
pada orang yang sebenarnya sudah tahu tapi pura-pura tidak paham. Kamu bicara
pada saya bukan sebagai orang yang mencari jawaban. Jawaban itu sudah ada
padamu. Kamu tahu. Kamu cuma sedang berusaha mencari keyakinan atas apa yang
kamu ketahui.” Katanya.
Wajah
saya mengeras sementara senyum di wajah Si Shaman
berubah menjadi seringai. Dia kemudian mematikan rokok yang telah pendek,
mengambil yang baru dari dalam kotak lalu menyalakannya lagi.
“Saya
tidak tahu apa hubungan saya dengan dia,” kata saya.
“Hubungan
kamu dengan dia? Hmm… saya tak akan ragu mengatakan bahwa kamu dan dia punya
hubungan yang sangat kuat di masa lalu. Saya rasa ini lebih dari sekedar
hubungan cinta-cintaan romantis. Kalian berdua terlibat sesuatu yang lebih
besar, sesuatu yang lebih kuat daripada sekedar cinta erotis.”
Shaman
itu menghisap rokoknya dalam dalam, tiga kali, sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Saya
sudah pernah melihat kasus yang sama. Jejak masa lalu yang terbawa ke kehidupan
masa kini tak mungkin jejak yang lemah. Dia harus cukup kuat untuk bisa
meninggalkan rasa, mengingatkan pembawanya kepada masa lalu yang terlupakan.
Semacam utang yang tak boleh lupa dibayar, jejak itu akan terus terbawa sampai
utangmu lunas.”
“Utang?
Konsep ini terdengar seperti karma buat saya.”
“Karma?
Ah, saya lupa, istilah itu mungkin yang paling familiar buat kamu. Oke, saya
akan sebut karma saja sekarang. Orang-orang lahir dengan membawa karmanya
masing-masing. Jiwa-jiwa yang terlahir di bumi bukan sepenuhnya jiwa baru,
sebagian adalah mereka yang sudah berkali-kali lahir, produk daur ulang. Jiwa
tua, begitu mereka disebut. Kamu salah satunya. Ah, jangan mengelak. Tak perlu
dibahas, toh kamu sebenarnya juga sudah sadar bahwa jiwamu itu sudah tua
sekali. Jika tidak kesadaranmu tak akan seperti sekarang.”
Saya
menelan ludah mendengar ucapan shaman
itu. Saya ditampik bahkan sebelum saya menjawab.
“Begini,”
lanjutnya. “Apa yang kamu lihat dalam mimpi itu adalah sebuah pesan, gambaran.
Kamu mendapat pesan tentang apa yang orang itu alami, entah yang sudah, belum
atau sedang terjadi padanya. Sesuatu yang terjadi padanya itu adalah sesuatu
yang besar, yang mungkin berpengaruh kuat pada dia, pada jiwanya. Itu kenapa
pesannya bisa punya cukup kekuatan untuk bisa sampai padamu.”
“Tapi
yang saya lihat selama ini selalu sama. Saya selalu melihat dia sendirian,
sebuah perasaan yang membuat sekujur tubuh saya kedinginan. Penderitaan…”
Shaman
itu menghisap rokoknya lagi.
“Saya
belum selesai membahas soal karma kalian. Saya sudah katakan bila kehidupan
masa lalu kalian pasti punya keterkaitan yang kuat. Saya rasa saya tahu ikatan
macam apa yang bisa membawa jejak sedemikian kuat dan membuat kamu berfokus
pada pengelihatan-pengelihatan tentang penderitaan yang dia alami. Jiwa kamu
sudah pernah kehilangan dia sebelumnya. Karenanya di masa sekarang jejak itu
mencegah kamu merasakan kesakitan yang sama dengan memberimu pesan lewat
mimpi.”
“Sebentar,
beri saya waktu untuk mencernanya,” jawab saya.
“Begini.
Kamu dan dia punya sebuah ikatan kuat. Dia sosok yang sangat penting buat kamu.
Kamu kehilangan dia dengan cara yang entah apa, yang meninggalkan luka dan
kesakitan yang sangat di jiwamu. Luka yang bekasnya masih terbawa hingga
sekarang. Kemudian jiwamu dan jiwanya lahir kembali, dalam satu dimensi waktu
yang sama : saat ini. Kalian bertemu lagi. Jiwamu mengenali jiwanya begitu
kalian bertemu, bekas lukamu jadi “terasa”. Kamu menandai dia sebagai sesuatu
yang berharga karena jiwamu mengenalinya, kasarnya kamu jatuh cinta sejak
pertama melihatnya. Lalu jejak yang tertinggal di jiwamu menjadi aktif,
mengantarkan pesan-pesan kepada kamu yang sekarang. Jiwamu sudah pernah sangat
menderita karena kehilangan dia. Sebisa mungkin di kehidupan yang sekarang kamu
tak boleh merasakan hal yang sama. Maka yang terjadi adalah dorongan untuk
melindungi. Dorongan untuk memastikan bahwa dia akan baik-baik saja. Kamu jadi
sensitif pada hal-hal buruk yang terjadi padanya, dan lewat kamu pesan-pesan
itu tersampaikan pada dia. Kamu pasti punya dorongan besar untuk menghubunginya
setiap kali kamu bermimpi tentang dia, bukan?”
“Ya
dan tidak.”
“Saya
tidak bicara tentang kamu betul-betul menghubungi dia atau tidak, tapi tentang
dorongan untuk menghubunginya.”
“Baiklah…
Yaaa… Saya memang selalu mengambil ponsel saya, mengetik panjang lebar setiap
kali saya bermimpi tentangnya. Meskipun kebanyakan dari pesan-pesan itu
kemudian saya hapus. Saya tidak mau menakutinya, kesannya saya seperti orang
gila yang terobsesi padanya.”
Shaman
itu tertawa terbahak-bahak sampai terbatuk.
“Kamu
lucu sekali, Sayang,” katanya. “Kamu memang terobsesi padanya, bukan? Jiwamu
sudah menandainya begitu kalian bertemu. Obsesi itu tak bisa kamu cegah,
umurnya sudah ratusan mungkin ribuan tahun!”
“Sudahlah.
Berhenti menggoda saya. Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
Saya
menjadi sangat tidak sabar dengan shaman
ini.
“Saya
rasa hubungan kalian tak akan pernah bisa terputus. Koneksi yang kalian punya
sangat kuat, sebuah ikatan yang terlalu kuat untuk bisa diputus. Bayangkan, dia
terbawa sampai saat ini, apa kamu pikir saya atau kamu mampu berbuat sesuatu
pada ikatan macam itu?"
“Lalu?”
“Kamu
cuma perlu menerima pesan-pesan itu dengan lebih tenang. Terima saja. Kamu toh
sudah menyadari kalau dia “penting” buat kamu. Kamu sudah memahami hubungan macam
apa yang kalian miliki. Meski hubungan itu tidak bisa kamu jelaskan dengan
definisi tertentu, tapi menyadari bahwa ikatan itu ada sudah cukup untuk saat
ini. Apakah kamu bisa menerimanya?”
“Ya…”
“Nah,
selanjutnya kamu harus menyadari satu hal. Ada hal-hal yang tidak bisa kita
kendalikan di dunia ini. Ada hal-hal yang tak bisa kita cegah. Sama seperti
proses jiwamu kehilangan jiwa dia dulu, itu tak bisa dicegah. Yang terjadi
sekarang juga sama. Mimpi-mimpimu itu mungkin bukan untuk mencegah hal-hal
buruk terjadi padanya, tapi untuk mempersiapkan kamu dan dia bila kemungkinan
terburuk harus terjadi: kalian mengulangi takdir yang sama, kehilangan yang
menyakitkan. Sampai di sini ada yang tidak bisa kamu terima?”
“Lanjutkan
saja,” jawab saya.
“Begini,
Sayang… Yang harus kamu lakukan cuma satu. Jujurlah pada dirimu sendiri. Kamu
harus membuka diri pada pesan-pesan yang disampaikan lewat mimpimu. Jangan
menolak, jangan terlalu banyak berspekulasi. Saya seharusnya tak perlu
mengajarimu lagi, kamu sudah bisa merasakan setiap pesan yang disampaikan lewat
mimpimu. Masalah kamu saat ini adalah kamu masih sering menolak untuk
menerimanya. Itu hanya akan menguras lebih banyak energimu, Sayang. Kamu akan
jadi sangat lelah. Ketika kamu bisa menerima, pesan-pesan itu akan menjadi
lebih jelas dan tak akan terasa mengganggu lagi.”
Shaman
itu menghisap lagi rokoknya, berkali-kali. Membiarkan saya terdiam. Dia hanya
duduk dan menunggu, dengan wajah yang terkesan tidak peduli. Saya mengingat
lagi perasaan-perasaan yang hadir setiap kali saya bermimpi tentang Angin.
Panik. Sedih. Takut. Kehilangan. Semua yang dikatakan shaman di depan saya tak satu pun meleset dari apa yang saya
alami. Tiba-tiba ketakutan besar menyergap saya, bulu kuduk saya berdiri.
“Kamu…
Apa kamu pikir saya akan merasakan kehilangan yang sama lagi di kehidupan ini?”
Shaman
itu mengangkat kedua alisnya.
“Oh,
Sayang… Saya tak bisa mengetahui hal-hal semacam itu. Saya tidak punya hak
untuk itu. Tapi saya rasa jiwamu yang sekarang justru sudah sangat dipersiapkan
untuk kemungkinan paling buruk.”
“Mak…
maksudmu?”
“Hmm…
Kamu dan dia sama-sama terlahir di dimensi waktu yang sama. Jiwa kalian bertemu
lagi. Tapi hubungan yang mengikat kalian di dimensi waktu ini tidak sama dengan
apa yang mengikat kalian di masa lalu. Bukankah itu sudah merupakan sebuah
persiapan untuk “kehilangan”? Maksud saya, hei, sekarang kamu dan dia hanya
teman, bahkan dari ceritamu sendiri teman dekat saja bukan. Kalian cuma dua
orang asing. Memangnya apa yang bisa jadi sangat menyakitkan dari kehilangan
“orang asing”? Jiwamu dan jiwanya sudah belajar banyak, mungkin kalian sendiri
yang memilih untuk tidak lagi ada dalam ikatan yang terlalu kuat. Rasa sakit di
masa lalu mungkin sudah cukup untuk membuat jiwa kalian sama-sama belajar
membebaskan. Dan hidup kalian di masa ini adalah proses pembebasan itu. Jejak
keterikatan memang masih ada, tapi hanya jejak. Bekas luka yang memungkinkan
kalian untuk mengingat dan tidak jatuh ke penderitaan yang sama.”
“Saya
rasa apa yang kamu bilang masuk akal…”
“Ah,
jangan bicara akal-akalan untuk hal seperti ini. Keberadaan saya sebagai shaman dan kamu yang bicara pada saya
tentang pesan mimpi saja sebenarnya sudah cukup gila,” jawab shaman itu sambal tertawa renyah.
Saya
tersenyum membenarkan perkataannya. “Jiwa saya mungkin sudah cukup tua untuk
bisa tersadarkan atas hal-hal absurd semacam ini. Tapi bagaimana dengan dia?
Saya rasa dia mungkin saja tak mengingat apa pun dan menganggap saya gila kalau
tahu semua ini.”
“Saya
tak yakin,” jawab Si Shaman. “Saya
rasa dia juga merasakan hal yang sama. Mungkin tidak sepenuhnya sadar seperti
apa yang kamu alami, tapi setidaknya dia pasti menyadari bahwa kamu punya
koneksi yang aneh dengan dirinya. Semua mimpi – ah, tidak semua – sebagian
mimpi yang kamu ceritakan padanya dan “kebetulan” terjadi pada hidupnya pasti
lebih dari cukup untuk membuat dia sadar ini tak biasa. Jiwanya juga pasti
menuntun dia untuk tidak benar-benar terputus dengan kamu. Sama dengan jiwamu yang
selalu menghadirkan bayangannya ketika kamu mulai lupa padanya. Kalau pun dia
tak berusaha mencari kamu seperti kamu yang berusaha mencari dia, jiwanya akan
membuat dia ada di posisi yang mudah untuk kamu temukan. Sejak bertemu dia kamu
tak pernah benar-benar kehilangan dia, bukan?”
“Ya,
ada masa dimana saya tidak mengontak dia untuk waktu yang lama. Tapi kemudian
saya menemukan “koneksi” lagi dengannya, lewat berbagai media.”
“Nah,
itu sudah cukup untuk membuktikan perkataan saya tadi. Sayang, kita terlahir di
dunia ini untuk kesekian kalinya bukanlah untuk mengulangi takdir. Jiwa-jiwa
tua punya utang atau kewajiban yang belum lunas, pelajaran yang belum selesai.
Kamu juga sedang mengalami yang sama. Dia juga. Kalian sedang ada dalam sebuah
proses pembebasan. Jadi kamu seharusya tak lagi terbebani dengan hal-hal
semacam ini. Kamu beruntung karena tersadar dengan cepat. Dia? Mungkin juga
sedang berproses, Dan itu tidak penting buatmu. Kamu dan jiwamu lah yang
seharusnya jadi fokusmu. Terimalah prosesmu. Berhentilah berpikir terlalu
banyak. Dengarkan apa yang seharusnya kamu dengarkan dan percaya. Paham?”
Shaman
itu tahu saya butuh waktu untuk bisa menerima dan memahami ucapannya. Dia
beranjak pergi, meninggalkan puntung-puntung rokok dan abu dalam asbak.
Angin
dingin tiba-tiba berhembus, menyadarkan saya kalau waktu sudah terlalu malam.
Saya pulang dalam diam, membawa kesadaran saya yang lama dengan beban yang
lebih ringan.
*Badung, 30 Mei 2017