Selasa, 30 Mei 2017

Kepada Angin, Tertanda, Perempuan Dengan Karma Yang Belum Lunas

Kepada Angin,
Tertanda,
Perempuan Dengan Karma Yang Belum Lunas

"Sandi Yuda" karya penulis


Ada cerita tentang orang-orang yang lahir kembali ke dunia dengan membawa karma yang belum lunas, urusan yang belum selesai, utang yang belum terbayarkan. Saya adalah satu diantara orang-orang itu. Saya lahir dengan membawa sebuah beban – atau titipan? – yang baru saya sadari setelah lebih dari seperempat abad hidup di dunia. Saya terikat pada sesuatu, entah apa, yang membuat saya berakhir di pusaran yang sama : bayangan tentang dia yang kemudian saya sebut Angin.

Saya bertemu dengannya lebih dari satu dekade lalu. Pertemuan yang sesungguhnya tak bisa saya ingat dengan jelas tapi berhasil membekas. Pertemuan yang kemudian berlalu begitu saja, bertahun-tahun, tanpa kelanjutan dan kejelasan. Meski jalur komunikasi saya dan dia tidak pernah betul-betul hilang, saya melupakan nyaris semua tentang dia. Nyaris, karena ketika saya sepenuhnya lupa, dia selalu datang mengingatkan saya. Angin datang sebagai bayangan dalam mimpi, menampakkan sosok yang terluka dan sendiri. Mimpi yang selalu menggoreskan rasa sakit ketika saya terbangun dari tidur. Begitu terus, berkali-kali, dengan pola intensitas yang tak bisa saya tebak.

Ada masa dimana saya tidak mendapatkan mimpi tentang Angin samasekali dalam rentang waktu yang cukup lama. Sekeras apa pun saya memikirkannya, saya tidak bisa melihat Angin dalam mimpi saya. Lalu ada masa dimana Angin tiba-tiba datang, bahkan ketika saya baru sesaat tertidur dan mustahil untuk bermimpi. Namun ada satu hal yang tak pernah berubah. Sosok angin selalu datang dengan membawa rasa dingin yang sama, kesendirian yang beku. Bayangan hitam yang selalu mengganggu.

Pernah suatu ketika saya melihat Angin dalam penderitaan yang sangat. Di satu ruangan gelap dan dingin, Angin tertunduk dengan kesedihan mendalam. Dia sendiri. Bahkan tak ada cukup cahaya untuk bisa membuatnya terlihat dengan jelas. Hati saya rasanya seperti tersayat. Saya menangis dalam tidur lalu bangun dengan nafas tercekat. Butuh waktu beberapa lama untuk menenangkan diri saya. Mengatur nafas pelan dan panjang sampai jantung saya berdetak dengan normal. Saya mengalami sakit kepala yang sangat selama beberapa menit. Mimpi yang paling menyakitkan yang pernah saya alami.
“Cuma mimpi”, kata saya dalam hati.
“Tak akan terjadi apa-apa padanya, semua pasti baik-baik saja”, lanjut saya.

Tapi hati kecil saya berbisik pelan, “Dasar pembohong…”

Dan benar saja. Saya kemudian mengetahui sesuatu terjadi pada Angin, benar-benar terjadi pada dia di dunia nyata. Sesuatu yang mungkin cukup untuk melemparnya ke titik rendah dalam hidupnya.

Saya kemudian mulai curiga, mimpi-mimpi yang saya lihat tentang Angin mungkin bukan sebatas ilusi. Mimpi-mimpi itu tidak datang sebagai bentuk obsesi atau refleksi saya terhadap dia. Mimpi-mimpi itu mungkin sebuah kode, sebuah pesan yang tak mampu saya baca. Satu yang saya sadari, ketika saya memimpikan Angin, ada sesuatu yang sedang, akan, atau sudah terjadi pada dia. Sesuatu yang besar yang cukup untuk membuat saya menerima pesan, “Hei kamu, Angin sedang mengalami hal “penting” dalam hidupnya.

Saya bicara pada seorang shaman. Perempuan tua berambut gimbal putih yang kurus dan tak pernah putus dari rokok. Saya menceritakan semua hal yang saya alami dan kaitannya dengan Angin. Saya mengalami mimpi-mimpi itu selama lebih dari sepuluh tahun. Satu dekade lebih adalah waktu yang terlalu lama untuk hal sepele. Pada shaman itu saya bertanya, bukan tentang makna mimpi-mimpi saya. Saya bertanya, siapa saya dan siapa dia. Kenapa saya mendapatkan pesan tentang Angin, dia yang bahkan bukan siapa-siapa bagi saya.

Shaman itu tertawa.
“Orang asing katamu?”
“Iya, orang asing. Saya rasa kami adalah dua bintang dengan jalur berbeda yang kebetulan berpapasan. Mungkin frekuensi kami sama, makanya saya bisa mendapat pesan yang seharusnya tidak saya terima. Semacam menangkap gelombang yang kebetulan melintas?,”
“Ah...”
Shaman itu tersenyum. Dia menghisap rokoknya, mengepulkan asap dengan nafas panjang-panjang. “Dengar, tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, Sayang,” katanya mulai menjelaskan. “Kamu tidak kebetulan kenal dengan saya. Kamu tidak kebetulan menceritakan ini kepada saya. Saya tidak kebetulan harus menjelaskan ini padamu. Bagaimana kalau semua sudah ditakdirkan? Atau… memang sepantasnya harus terjadi?”
Saya menghela nafas. Jawaban shaman ini bukan tak pernah saya pikirkan sebelumnya. Sejatinya jawabannya membenarkan kecurigaan saya, bahwa apa yang saya duga tentang mimpi-mimpi saya benar adanya.
“Jadi menurutmu, apa yang sedang terjadi?” tanya saya.
“Saya sudah bisa merasakan bahwa kalian, kamu dan dia, punya satu hubungan kuat. Mungkin hubungan itu tidak bisa kamu rasakan sekarang, di masa kini. Tapi jejaknya seharusnya masih bisa kamu rasakan.”
Saya mengernyit, “Jejak?”
“Iya. Jejak. Bekas. Sisa. Mimpi-mimpimu itu, bukankah kamu sudah tahu kalau perasaanmu pada dia lebih dari sekedar perasaan pada orang asing? Bahkan sejak awal melihatnya kamu sudah “jatuh cinta” bukan? Sesuatu menggerakkan kamu untuk memilihnya. Sesuatu yang berasal dari masa lalu. Jejak itu!”
Saya menghela nafas, shaman itu tersenyum. Rasa-rasanya senyum itu lebih seperti intimidasi bagi saya.
“Saya tak perlu bicara banyak,” katanya. “Buat apa saya menjelaskan panjang lebar pada orang yang sebenarnya sudah tahu tapi pura-pura tidak paham. Kamu bicara pada saya bukan sebagai orang yang mencari jawaban. Jawaban itu sudah ada padamu. Kamu tahu. Kamu cuma sedang berusaha mencari keyakinan atas apa yang kamu ketahui.” Katanya.
Wajah saya mengeras sementara senyum di wajah Si Shaman berubah menjadi seringai. Dia kemudian mematikan rokok yang telah pendek, mengambil yang baru dari dalam kotak lalu menyalakannya lagi.
“Saya tidak tahu apa hubungan saya dengan dia,” kata saya.
“Hubungan kamu dengan dia? Hmm… saya tak akan ragu mengatakan bahwa kamu dan dia punya hubungan yang sangat kuat di masa lalu. Saya rasa ini lebih dari sekedar hubungan cinta-cintaan romantis. Kalian berdua terlibat sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang lebih kuat daripada sekedar cinta erotis.”
Shaman itu menghisap rokoknya dalam dalam, tiga kali, sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Saya sudah pernah melihat kasus yang sama. Jejak masa lalu yang terbawa ke kehidupan masa kini tak mungkin jejak yang lemah. Dia harus cukup kuat untuk bisa meninggalkan rasa, mengingatkan pembawanya kepada masa lalu yang terlupakan. Semacam utang yang tak boleh lupa dibayar, jejak itu akan terus terbawa sampai utangmu lunas.”
“Utang? Konsep ini terdengar seperti karma buat saya.”
“Karma? Ah, saya lupa, istilah itu mungkin yang paling familiar buat kamu. Oke, saya akan sebut karma saja sekarang. Orang-orang lahir dengan membawa karmanya masing-masing. Jiwa-jiwa yang terlahir di bumi bukan sepenuhnya jiwa baru, sebagian adalah mereka yang sudah berkali-kali lahir, produk daur ulang. Jiwa tua, begitu mereka disebut. Kamu salah satunya. Ah, jangan mengelak. Tak perlu dibahas, toh kamu sebenarnya juga sudah sadar bahwa jiwamu itu sudah tua sekali. Jika tidak kesadaranmu tak akan seperti sekarang.”
Saya menelan ludah mendengar ucapan shaman itu. Saya ditampik bahkan sebelum saya menjawab.
“Begini,” lanjutnya. “Apa yang kamu lihat dalam mimpi itu adalah sebuah pesan, gambaran. Kamu mendapat pesan tentang apa yang orang itu alami, entah yang sudah, belum atau sedang terjadi padanya. Sesuatu yang terjadi padanya itu adalah sesuatu yang besar, yang mungkin berpengaruh kuat pada dia, pada jiwanya. Itu kenapa pesannya bisa punya cukup kekuatan untuk bisa sampai padamu.”
“Tapi yang saya lihat selama ini selalu sama. Saya selalu melihat dia sendirian, sebuah perasaan yang membuat sekujur tubuh saya kedinginan. Penderitaan…”
Shaman itu menghisap rokoknya lagi.
“Saya belum selesai membahas soal karma kalian. Saya sudah katakan bila kehidupan masa lalu kalian pasti punya keterkaitan yang kuat. Saya rasa saya tahu ikatan macam apa yang bisa membawa jejak sedemikian kuat dan membuat kamu berfokus pada pengelihatan-pengelihatan tentang penderitaan yang dia alami. Jiwa kamu sudah pernah kehilangan dia sebelumnya. Karenanya di masa sekarang jejak itu mencegah kamu merasakan kesakitan yang sama dengan memberimu pesan lewat mimpi.”
“Sebentar, beri saya waktu untuk mencernanya,” jawab saya.
“Begini. Kamu dan dia punya sebuah ikatan kuat. Dia sosok yang sangat penting buat kamu. Kamu kehilangan dia dengan cara yang entah apa, yang meninggalkan luka dan kesakitan yang sangat di jiwamu. Luka yang bekasnya masih terbawa hingga sekarang. Kemudian jiwamu dan jiwanya lahir kembali, dalam satu dimensi waktu yang sama : saat ini. Kalian bertemu lagi. Jiwamu mengenali jiwanya begitu kalian bertemu, bekas lukamu jadi “terasa”. Kamu menandai dia sebagai sesuatu yang berharga karena jiwamu mengenalinya, kasarnya kamu jatuh cinta sejak pertama melihatnya. Lalu jejak yang tertinggal di jiwamu menjadi aktif, mengantarkan pesan-pesan kepada kamu yang sekarang. Jiwamu sudah pernah sangat menderita karena kehilangan dia. Sebisa mungkin di kehidupan yang sekarang kamu tak boleh merasakan hal yang sama. Maka yang terjadi adalah dorongan untuk melindungi. Dorongan untuk memastikan bahwa dia akan baik-baik saja. Kamu jadi sensitif pada hal-hal buruk yang terjadi padanya, dan lewat kamu pesan-pesan itu tersampaikan pada dia. Kamu pasti punya dorongan besar untuk menghubunginya setiap kali kamu bermimpi tentang dia, bukan?”
“Ya dan tidak.”
“Saya tidak bicara tentang kamu betul-betul menghubungi dia atau tidak, tapi tentang dorongan untuk menghubunginya.”
“Baiklah… Yaaa… Saya memang selalu mengambil ponsel saya, mengetik panjang lebar setiap kali saya bermimpi tentangnya. Meskipun kebanyakan dari pesan-pesan itu kemudian saya hapus. Saya tidak mau menakutinya, kesannya saya seperti orang gila yang terobsesi padanya.”
Shaman itu tertawa terbahak-bahak sampai terbatuk.
“Kamu lucu sekali, Sayang,” katanya. “Kamu memang terobsesi padanya, bukan? Jiwamu sudah menandainya begitu kalian bertemu. Obsesi itu tak bisa kamu cegah, umurnya sudah ratusan mungkin ribuan tahun!”
“Sudahlah. Berhenti menggoda saya. Lalu apa yang harus saya lakukan sekarang?”
Saya menjadi sangat tidak sabar dengan shaman ini.
“Saya rasa hubungan kalian tak akan pernah bisa terputus. Koneksi yang kalian punya sangat kuat, sebuah ikatan yang terlalu kuat untuk bisa diputus. Bayangkan, dia terbawa sampai saat ini, apa kamu pikir saya atau kamu mampu berbuat sesuatu pada ikatan macam itu?"
“Lalu?”
“Kamu cuma perlu menerima pesan-pesan itu dengan lebih tenang. Terima saja. Kamu toh sudah menyadari kalau dia “penting” buat kamu. Kamu sudah memahami hubungan macam apa yang kalian miliki. Meski hubungan itu tidak bisa kamu jelaskan dengan definisi tertentu, tapi menyadari bahwa ikatan itu ada sudah cukup untuk saat ini. Apakah kamu bisa menerimanya?”
“Ya…”
“Nah, selanjutnya kamu harus menyadari satu hal. Ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan di dunia ini. Ada hal-hal yang tak bisa kita cegah. Sama seperti proses jiwamu kehilangan jiwa dia dulu, itu tak bisa dicegah. Yang terjadi sekarang juga sama. Mimpi-mimpimu itu mungkin bukan untuk mencegah hal-hal buruk terjadi padanya, tapi untuk mempersiapkan kamu dan dia bila kemungkinan terburuk harus terjadi: kalian mengulangi takdir yang sama, kehilangan yang menyakitkan. Sampai di sini ada yang tidak bisa kamu terima?”
“Lanjutkan saja,” jawab saya.
“Begini, Sayang… Yang harus kamu lakukan cuma satu. Jujurlah pada dirimu sendiri. Kamu harus membuka diri pada pesan-pesan yang disampaikan lewat mimpimu. Jangan menolak, jangan terlalu banyak berspekulasi. Saya seharusnya tak perlu mengajarimu lagi, kamu sudah bisa merasakan setiap pesan yang disampaikan lewat mimpimu. Masalah kamu saat ini adalah kamu masih sering menolak untuk menerimanya. Itu hanya akan menguras lebih banyak energimu, Sayang. Kamu akan jadi sangat lelah. Ketika kamu bisa menerima, pesan-pesan itu akan menjadi lebih jelas dan tak akan terasa mengganggu lagi.”
Shaman itu menghisap lagi rokoknya, berkali-kali. Membiarkan saya terdiam. Dia hanya duduk dan menunggu, dengan wajah yang terkesan tidak peduli. Saya mengingat lagi perasaan-perasaan yang hadir setiap kali saya bermimpi tentang Angin. Panik. Sedih. Takut. Kehilangan. Semua yang dikatakan shaman di depan saya tak satu pun meleset dari apa yang saya alami. Tiba-tiba ketakutan besar menyergap saya, bulu kuduk saya berdiri.
“Kamu… Apa kamu pikir saya akan merasakan kehilangan yang sama lagi di kehidupan ini?”
Shaman itu mengangkat kedua alisnya.
“Oh, Sayang… Saya tak bisa mengetahui hal-hal semacam itu. Saya tidak punya hak untuk itu. Tapi saya rasa jiwamu yang sekarang justru sudah sangat dipersiapkan untuk kemungkinan paling buruk.”
“Mak… maksudmu?”
“Hmm… Kamu dan dia sama-sama terlahir di dimensi waktu yang sama. Jiwa kalian bertemu lagi. Tapi hubungan yang mengikat kalian di dimensi waktu ini tidak sama dengan apa yang mengikat kalian di masa lalu. Bukankah itu sudah merupakan sebuah persiapan untuk “kehilangan”? Maksud saya, hei, sekarang kamu dan dia hanya teman, bahkan dari ceritamu sendiri teman dekat saja bukan. Kalian cuma dua orang asing. Memangnya apa yang bisa jadi sangat menyakitkan dari kehilangan “orang asing”? Jiwamu dan jiwanya sudah belajar banyak, mungkin kalian sendiri yang memilih untuk tidak lagi ada dalam ikatan yang terlalu kuat. Rasa sakit di masa lalu mungkin sudah cukup untuk membuat jiwa kalian sama-sama belajar membebaskan. Dan hidup kalian di masa ini adalah proses pembebasan itu. Jejak keterikatan memang masih ada, tapi hanya jejak. Bekas luka yang memungkinkan kalian untuk mengingat dan tidak jatuh ke penderitaan yang sama.”
“Saya rasa apa yang kamu bilang masuk akal…”
“Ah, jangan bicara akal-akalan untuk hal seperti ini. Keberadaan saya sebagai shaman dan kamu yang bicara pada saya tentang pesan mimpi saja sebenarnya sudah cukup gila,” jawab shaman itu sambal tertawa renyah.
Saya tersenyum membenarkan perkataannya. “Jiwa saya mungkin sudah cukup tua untuk bisa tersadarkan atas hal-hal absurd semacam ini. Tapi bagaimana dengan dia? Saya rasa dia mungkin saja tak mengingat apa pun dan menganggap saya gila kalau tahu semua ini.”
“Saya tak yakin,” jawab Si Shaman. “Saya rasa dia juga merasakan hal yang sama. Mungkin tidak sepenuhnya sadar seperti apa yang kamu alami, tapi setidaknya dia pasti menyadari bahwa kamu punya koneksi yang aneh dengan dirinya. Semua mimpi – ah, tidak semua – sebagian mimpi yang kamu ceritakan padanya dan “kebetulan” terjadi pada hidupnya pasti lebih dari cukup untuk membuat dia sadar ini tak biasa. Jiwanya juga pasti menuntun dia untuk tidak benar-benar terputus dengan kamu. Sama dengan jiwamu yang selalu menghadirkan bayangannya ketika kamu mulai lupa padanya. Kalau pun dia tak berusaha mencari kamu seperti kamu yang berusaha mencari dia, jiwanya akan membuat dia ada di posisi yang mudah untuk kamu temukan. Sejak bertemu dia kamu tak pernah benar-benar kehilangan dia, bukan?”
“Ya, ada masa dimana saya tidak mengontak dia untuk waktu yang lama. Tapi kemudian saya menemukan “koneksi” lagi dengannya, lewat berbagai media.”
“Nah, itu sudah cukup untuk membuktikan perkataan saya tadi. Sayang, kita terlahir di dunia ini untuk kesekian kalinya bukanlah untuk mengulangi takdir. Jiwa-jiwa tua punya utang atau kewajiban yang belum lunas, pelajaran yang belum selesai. Kamu juga sedang mengalami yang sama. Dia juga. Kalian sedang ada dalam sebuah proses pembebasan. Jadi kamu seharusya tak lagi terbebani dengan hal-hal semacam ini. Kamu beruntung karena tersadar dengan cepat. Dia? Mungkin juga sedang berproses, Dan itu tidak penting buatmu. Kamu dan jiwamu lah yang seharusnya jadi fokusmu. Terimalah prosesmu. Berhentilah berpikir terlalu banyak. Dengarkan apa yang seharusnya kamu dengarkan dan percaya. Paham?”
Shaman itu tahu saya butuh waktu untuk bisa menerima dan memahami ucapannya. Dia beranjak pergi, meninggalkan puntung-puntung rokok dan abu dalam asbak.

Angin dingin tiba-tiba berhembus, menyadarkan saya kalau waktu sudah terlalu malam. Saya pulang dalam diam, membawa kesadaran saya yang lama dengan beban yang lebih ringan.

*Badung, 30 Mei 2017

Jumat, 12 Mei 2017

Kamu hamil, ya? Anaknya Cewek Apa COWOK???

"Kamu Hamil, Ya? Anaknya Cewek Apa COWOK???"

*untuk semua perempuan di luar sana, yang sedang membukakan jalan bagi jiwa-jiwa baru

photo by : Tu Dik 2.8photovideo


Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang paling sering saya hadapi belakangan ini.
Yes, i am pregnant. Saya sedang hamil. Ketika orang-orang mulai menyadari kehamilan saya akibat perut yang sudah tidak bisa disembunyikan lagi, saya mulai sering harus menjawab pertanyaan-pertanyaan sejenis.

Sejatinya saya beruntung, begitu menikah saya hamil. Jadi saya tidak perlu menghadapi banyak pertanyaan "kapan hamil?" setelah saya menikah. Walaupun sebenarnya saya sangat siap untuk menjawab dan mendebat siapa pun yang berani menanyakan itu ke saya sih...
Keberuntungan kedua, bayi di dalam perut saya ini sangat-sangat bisa diajak kompromi. Di masa-masa awal kehamilan, badan saya yang kurus cuma sedikit bertambah gemuk dan masih terlihat "normal" di mata orang-orang. Saya juga tidak mengalami banyak masalah kesehatan. Morning sickness tentu, tapi saya lagi-lagi beruntung karena jadwal mengajar saya semester ini banyak di jam siang - ketika tubuh saya sudah "sembuh" dari muntah-muntah dan pusing di pagi hari. Perut saya juga tidak terlalu membesar hingga masuk bulan ke lima, itu pun masih bisa "disembunyikan" di balik pakaian longgar saya. Jadi selama beberapa bulan saya terbebas dari pertanyaan-pertanyaan kepo orang-orang di sekitar sana.

Kemudian terjadilah. Perut saya membesar. Saya benar-benar terlihat hamil. Mulai lah saya menghadapi pertanyaan legendaris : ANAKNYA CEWEK APA COWOK?

Pertanyaan ini muncul dari siapa pun. Mertua saya, kakek nenek mertua saya, paman bibi saya, teman-teman saya, mahasiswa saya, hingga teman-teman ekspatriat saya. Pertanyaannya sama memang, tapi sungguh, alasan mereka bertanya dan reaksi mereka ketika medengar jawaban saya sungguh berbeda.

Beberapa orang yang pola pikirnya masih konvensional - karena saya tidak mau memakai kata kolot - yang bertanya soal kelamin bayi saya punya satu tujuan : mengetahui apakah saya bisa menghasilkan pewaris untuk keluarga suami saya atau tidak. Entah apa kepentingannya, yang jelas soal anak laki-laki ini jadi masalah penting di Bali. Terimakasih patriarki!
Saya sering menjawab pertanyaan seputar kelamin ini dengan tidak serius. Jawaban saya berbeda-beda tergantung mood. Sering saya menjawab tidak tahu atau sengaja untuk tidak tahu. Biar "surprise" saya bilang. Tapi jawaban ini juga tidak bisa diterima dengan mudah oleh mereka. Katanya saya aneh. Katanya saya sebaiknya tahu apa kelamin anak saya. Kemudian mereka menyarankan saya untuk USG yang lebih akurat supaya kelamin bayi saya terlihat. Karena kelamin bayi adalah masalah yang penting. PENTING.

Sering saya mencoba menjawab dengan asal sebut laki-laki atau perempuan. Saya cuma mau melihat bagaimana reaksi mereka atas jawaban saya. Seringnya begini, ketika saya jawab anak saya laki-laki, orang yang bertanya akan dengan penuh suka cita memberi selamat, mendoakan, dan yang tidak bisa disembunyikan sekaligus membuat saya muak : menampilkan ekspresi lega. Seolah-olah bayi yang saya kandung ini adalah sesuatu yang sangat berharga dan bisa menyelamatkan hidup mereka. Mereka pun memandang saya dengan bahagia dan "penuh rasa terimakasih", semacam saya sedang membawa berlian berharga triliyunan di perut saya. 
Lain halnya bila saya jawab bayi saya perempuan. Hal pertama yang keluar dari mulut mereka adalah, "Tidak apa-apa, yang penting sehat, yang penting selamat. Cewek atau cowo "sama" aja kok." 
Dan kalimat itu tidak dibarengi dengan ekspresi kelegaan yang sama ketika saya mengatakan bayi saya laki-laki. Wow. Sungguh tulus sekali. Yang lebih menyebalkan, kebanyakan ibu-ibu alias manusia dengan jenis kelamin perempuan lah yang mengatakan kalimat sejenis ini kepada saya. Menyedihkan, bukan?

Reaksi yang berbeda saya dapatkan ketika pertanyaan yang sama diajukan oleh teman-teman ekspatriat saya. Umumnya mereka akan segera memberi selamat dengan senyum sumringah begitu tahu saya hamil, kemudian berkata : mengantarkan jiwa lain ke bumi sungguh sesuatu yang indah, saya bahagia mendengar kamu punya kesempatan ini. Jaga diri baik-baik, semoga kamu dan bayimu sehat. 
Bila mereka bertanya anak saya laki-laki atau perempuan, apa pun jawaban saya mereka akan berkata : Congratulation! Selamat! Saya yakin anakmu akan jadi anak yang cantik (bila perempuan) atau ganteng (bila laki-laki). Kalau pun saya bilang saya belum tahu atau memilih untuk tidak tahu, mereka tetap akan memberi selamat dan berkata : Ya, perempuan atau pun laki-laki saya yakin anakmu akan jadi anak yang hebat!
Sekian. Tanpa stigma, tanpa penilaian. Yang ada saya justru merasa senang karena mereka memang mengucapkan selamat dengan tulus, bahkan menunjukkannya dengan sikap yang juga tulus. Mempersilahkan saya duduk, berhenti merokok di dekat saya, menanyakan kondisi saya, memesankan saya makanan dan minuman, bertanya apakah saya nyaman atau tidak, dan lain-lain.

Perbedaan reaksi ini sungguh membuat saya sadar akan satu hal. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk merubah sikap sebagian besar orang di sekitar saya. Membuat mereka menyadari bahwa kelamin bukanlah sesuatu yang harus didewakan adalah sesuatu yang berat. Selama bertahun-tahun, seumur hidup mereka terbiasa hidup dengan stigma gender semacam ini. Sesuatu yang sudah sejak lama terjadi secara terus menerus seringkali dianggap benar. Maka sikap-sikap semacam ini jga dianggap benar.  
Terus terang, saya merasa dilecehkan jika mendengar kalimat soal kelamin bayi ini dilontarkan kepada saya. Melihat perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh orang-orang hanya karena perbedaan jenis kelamin bayi yang saya kandung sungguh merupakan hal yang membuat saya tidak nyaman. Kasihan anak saya, stigma gender pun sudah dia dapatkan jauh sebelum dia lahir. Kasihan saya, rasanya fungsi saya hanya dihargai sebagai penghasil anak, pembuat keturunan. Bukan dihargai sebagai manusia seutuhnya. Nilai saya ditentukan berdasarkan mampu tidaknya saya menghasilkan anak laki-laki. Titik.

Saya paham betul dengan pola patriarki di Bali. Yang saya tidak paham adalah mengapa banyak perempuan yang memilih ikut mempertahankan ketidak-setaraan gender ini. Budaya Bali memang sering dikaitkan dengan agama Hindu. Tapi sampai sekarang saya belum menemukan satu kalimat pun dalam ajaran agama Hindu yang menyebutkan masalah perbedaan laki-laki dan perempuan. Yang ada justru ajaran soal keseimbangan, dimana laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang sama untuk menciptakan sebuah harmoni. Bukannya si laki-laki harus berada di atas dan perempuan di bawah, keduanya justru harus berada di dua kutub berlawanan yang sejajar untuk menciptakan keseimbangan.

Kalau ajaran agama yang dipuja saja bicara soal kesetaraan dan keseimbangan, mengapa manusia-manusianya bicara soal prioritas laki-laki?

Saya muak dengan semua nilai yang mengagungkan anak laki-laki di budaya Bali. orang-orang, terumana ibu-ibu, harusnya sadar bahwa melanggengkan budaya patriarki semacam ini tidak akan membawa dampak positif bagi dirinya atau pun bagi  keturunannya.  Ibu-ibu harusnya berhenti menciptakan anak-anak lelaki yang terbiasa "sombong" akibat menyangka dirinya lebih dibanding perempuan. Yang paling penting, ibu-ibu ini harus belajar berhenti mendiskreditkan perempuan lain. Apakah dia akan menghasilkan anak laki-laki atau perempuan, sungguh bukan sebuah hal yang harus dipertanyakan apalagi diperdebatkan. Perempuan harusnya saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Hamil dan punya anak bukanlah sebuah kompetisi tapi sebuah perjalanan. Anugrah dan tanggung jawab. Sebuah proses alami kehidupan. Anak laki-laki atau perempuan, memangnya Anda siapa bisa menilai yang satu lebih berharga dari yang lain?



Kamis, 11 Mei 2017

I Adopt A Dog When I Know I Am Pregnant

I Adopt A Dog When I Know I Am Pregnant
(Saya Mengadopsi Seekor Anjing Ketika Saya Tahu Saya Sedang Hamil)

*untuk Zoro No Zoro, Bulu, Ohany, Jiro, Russel dan semua anjing yang pernah saya pelihara*


Zoro No Zoro


Begitu saya melihat tanda positif di test pack, hal pertama yang saya pikirkan adalah : Ok. I am going to have a baby. I have to get a buddy for the baby.

Serius.
Hal pertama yang saya pikirkan adalah saya harus punya seseorang yang bisa saya percaya untuk menjaga dan menemani anak saya. Seseorang yang punya kualitas mencintai tanpa mengharapkan imbalan, seseorang yang punya kualitas ketulusan tiada tanding. Seseorang yang bukan manusia, tentu.

Maka berakhirlah saya dalam pencarian anak adopsi : seekor anjing bali.

Saya tidak sembarangan asal adopsi anjing. Pengalaman saya berurusan dengan organisasi yang bergerak di bidang kesejahteraan satwa bagi saya cukup sebagai pertimbangan keputusan saya ini. Lebih lagi saya sadar bahwa rumah saya memang membutuhan anjing baru. Ada dua anjing kecil yang tersisa di rumah ini, Ohany dan Bulu. Dua-duanya “tidak bisa diandalkan”. Ohany sudah tua dan buta. Sementara Bulu pengecut tingkat dewa. Hana, alpha (anjing pemimpin kelompok), satu-satunya anjing yang bisa diandalkan di rumah ini, baru beberapa minggu meninggal karena sakit. Otomatis keseimbangan di rumah ini terganggu. Ohany dan Bulu tidak henti-hentinya bertengkar – bukan dengan satu sama lain tapi dengan anjing-anjing tetangga dan anjing liar yang mulai berani memasuki teritori yang ditinggalkan Hana. Mengancam Ohany dan Bulu. Keamanan di rumah juga mulai saya khawatirkan, Ohany punya pendengaran yang bagus tapi buta. Dia sering keliru menggonggongi saya atau penghuni rumah lain sebagai orang asing. Atau menyangka orang asing adalah salah satu dari kami. Bulu? Ah, si pengecut itu tak usah ditanya.

Banyak yang mengganggap keputusan saya mengadopsi anjing ketika saya sedang hamil adalah keputusan yang gila – dan tentu, salah. Katanya saya sedang dalam kondisi yang spesial, jadi sebaiknya saya tak usah dekat-dekat dengan binatang apalagi anjing. Kotor, nanti tertular penyakit bagaimana? Yang lain bilang, saya sebaiknya tidak adopsi anjing. Nanti capek lho, ngurus anjing sama ngurus anak. Yang ada nanti anjingnya terlantar. “Banyak kok orang-orang yang malah menjual, menghibahkan, menyingkirkan binatang peliharaan ketika hamil. Kamu kok malah sebaliknya? Gila!”

Tapi tentu saya yang keras kepala ini tak mungkin menuruti satu pun larangan itu. Pada suatu siang yang panas, saya dan adik sepupu saya naik motor ke daerah Nusa Dua, sekitar satu jam dari Denpasar, untuk mengambil seekor anak anjing bali hitam yang kemudian saya beri nama : Zoro No Zoro.

Saya tak minta ijin pada siapa pun untuk mengadopsinya. Tidak juga pada suami saya. Kenapa? Karena kami sudah bersahabat cukup lama, lalu pacaran sekian lama juga. Dia sudah sangat paham dengan pola pikir saya dan menyadari jika melarang saya adalah sebuah hal yang mustahil. Lagipula dia juga menyukai anjing. Keluarganya? Saya cukup yakin mereka tidak akan keberatan dengan adanya anggota keluarga baru. Satu hal yang pasti, Zoro No Zoro adalah anak adopsi saya, maka saya lah yang kemudian akan bertanggung jawab penuh pada anak ini. Rasa-rasanya tak mungkin ada yang keberatan di rumah ini.

Zoro kemudian tinggal di rumah ini, bersama keluarga ini. Tiga hari pertama adalah ujian berat. Saya harus memaksanya tinggal di kendang setiap malam. Dia masih terlalu kecil untuk dibiarkan berkeliaran. Ohany dan Bulu juga masih asing dengan keberadaannya. Saya tak mau mereka bertengkar dan menghasilkan masalah baru kemudian. Zoro yang masih “bayi” juga masih belum terbiasa tidur tanpa ibunya. Jadilah sepanjang malam dia menangis dan meraung. Saya harus menjenguknya tiap beberapa jam, menyuruhnya diam sampai dia tidur, baru kemudian saya kembali tidur. Mengapa tak menaruh kandangnya di kamar saya? Tidak. Saya punya prinsip yang sangat ketat soal wilayah teritori saya. Kamar adalah wilayah yang sepenuhnya jadi kuasa saya. Saya tidak nyaman bila ada yang masuk ke kamar saya tanpa ijin. Pada manusia saja saya marah, jadi binatang juga tak bisa masuk.

Awalnya, rutinitas memelihara “bayi” anjing ini juga mengkhawatirkan banyak orang. Memberi makan, mengajak bermain, memandikan dan membuatnya terbiasa dengan rumah ini dan penghuninya memang butuh waktu dan upaya. Semua saya lakukan dalam keadaan hamil. Mungkin beberapa orang khawatir dengan saya, tapi saya percaya pada apa yang saya rasakan. Saya senang, tubuh dan bayi saya juga baik-baik saja. Saya cuma butuh waktu sekian minggu, sampai anak ini bisa mandiri dan bertingkah seperti “anjing betulan”.

Umur Zoro sekarang sudah 7 bulan. Remaja untuk ukuran anjing. Dia sudah bisa diandalkan. Beberapa minggu setelah adopsi, anjing-anjing tetangga dan anjing liar juga berhenti datang ke rumah ini. Mungkin mereka sudah mencium bau calon alpha baru. Zoro juga sudah bisa menggonggong. Setiap ada orang asing yang datang, dia bertindak seperti alarm. Walau terkadang alarmnya masih agak terlambat, sih…

Yang paling menyenangkan bagi saya adalah, dia selalu mengantar saya ke kamar mandi. Rumah yang saya tempati adalah rumah bali dengan struktur bangunan terpisah. Saya tidur di Bale Dauh, bangunan yang ada di bagian rumah sikut satak (struktur utama bangunan Bali) sementara kamar mandi ada jauh di ujung di dekat teba (kebun belakang). Jaraknya mungkin sekitar 20 meter (atau lebih?). Untuk ke sana, saya harus berjalan beberapa langkah dan kalau malam sering gelap karena minim lampu. Hamil membuat saya rajin buang air kecil ke kamar mandi, siang atau pun malam. Kebiasaan saya minum banyak air juga sepertinya membuat rutinitas buang air kecil ini semakin sering. Dan Zoro adalah pengantar setia saya.

Kalau siang, Zoro yang berbulu hitam memang hobi nongkrong di depan pintu kamar mandi. Adem mungkin. Kalau malam, Zoro akan siaga di depan pintu kamar saya. Dia akan segera bangun bila mendengar pintu kamar saya terbuka, bergegas berdiri dengan kuping tegak lalu berjalan mengikuti saya ke kamar mandi. Jam berapa pun dalam keadaan apa pun. Bulu dan Ohany juga kemudian melakukan hal yang sama. Tiga-tiganya sekarang tidur di sekitaran bale dauh tempat saya tidur. Otomatis, setiap malam setiap kali ke kamar mandi, ada tiga anak yang mengikuti saya. Ditambah dengan suami saya yang tentu saja tak akan membiarkan saya berjalan malam-malam ke kamar mandir sendirian, jadilah kami beriring-iringan. Bulu di depan, Ohany dan Zoro di belakang. Mereka akan menunggu di depan kamar mandi dengan kepala, kuping dan ekor tegak. Siaga penuh sampai saya keluar dari kamar mandi, lalu kemudian kembali mengawal saya untuk kembali ke kamar. Kalau dipikir-pikir, kelakuan mereka yang seperti ini memang terkesan lucu. Memangnya apa yang mungkin terjadi pada saya dalam perjalanan ke kamar mandi? Plus keberadaan suami di samping saya. Tapi di sini letak kualitas anjing-anjing itu. Mereka bertiga, yang “cuma “anjing saja peduli pada saya. Mereka mengawal saya meski hanya untuk ke kamar mandi. Meski sebenarnya bahaya yang saya hadapi dalam perjalanan beberapa meter itu minim, mereka tetap siaga penuh, siap sedia menghadapi apa pun yang mungkin menghadang.


Ini yang saya maksud dengan ketulusan tiada tanding. Anjing adalah satu-satunya makhluk yang saya kenal yang bisa mencintai manusia dengan sangat tulus. Tak peduli bagaimana perlakuanmu kepadanya, dia akan tetap setia menjagamu. Pengalaman-pengalaman seperti ini juga yang meyakinkan saya untuk menyiapkan seorang teman bagi bayi saya. Seorang teman yang kelak akan bisa dia percaya sepenuhnya. Teman yang tidak akan berkhianat. Teman yang akan selalu bahagia melihat dia. Teman yang tulus. Seekor anjing bali bernama Zoro No Zoro.