Senin, 13 Maret 2017

Kapan Nikah? Kapan Hamil? Kapan Punya Anak? Kapan Mati??? Eehh....

"Kapan nikah?
Kapan hamil?
Kapan punya anak?
Nggak mau nambah anak lagi?"


"The Seed" - karya penulis


Ke-kepo-an tiada akhir, begitu saya menyebutnya. Untungnya, saya termasuk spesies perempuan yang bodo amat dengan semua pertanyaan-pertanyaan sejenis. Tapi percayalah, untuk sampai pada tahap bodo amat seperti sekarang, saya butuh waktu yang tidak singkat. Bukan karena sakit hati atau kecewa tiap kali ditanyai pertanyaan semacam itu, saya butuh waktu lebih untuk belajar mengendalikan mulut saya : biar nggak jawab yang aneh-aneh. Serius, dulu saya sering menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini dengan emosi. Misal ketika saya ditanyai kapan nikah, saya akan jawab dengan nada tinggi, "Emang kalo nggak nikah kenapa? Ada masalah? Nanya-nanya doang buat apaan coba?!?"

Reaksi saya yang seperti itu bertahan cukup lama. Sampai akhirnya saya sadar kalau saya bodoh sampai emosi cuma gara-gara pertanyaan nggak penting dari orang yang bahkan tidak punya kepentingan dalam hidup saya. Semacam buang-buang energi, atau lebih tepatnya, saya menambah negativitas yang tidak perlu pada diri saya. Sering saya jadi kesal seharian cuma gara-gara satu pertanyaan sesederhana kapan nikah. Padahal saya sendiri bukan perempuan yang akan kecewa lalu depresi kalau tidak menikah seumur hidup sekalipun. Jadi, kenapa saya menyusahkan diri sendiri?

Ketika sudah mencapai tahap pencerahan untuk jadi bodo amat, saya kemudian lebih suka menanggapi pertanyaan-pertanyaan sejenis dengan cara yang lebih elegan (menurut saya) dengan menjadikannya bahan bercandaan atau saya serang balik si penanya dengan pertanyaan sejenis yang saya yakin dia nggak akan bisa jawab.
Saya ditanya kapan nikah, saya jawab sambil tersenyum, "Ibu nanya-nanya saya kapan nikah, ibu pengen nikah lagi ya?"
Ketika ditanya kapan hamil, saya jawab masih sambil tersenyum, "Kenapa? Pasti ibu mau bayarin biaya anak saya nanti ya?"
Atau kalau pertanyaannya terus berlanjut, saya cuma bilang, "Ih, Ibu kepo amat sama saya. Ibu ngefans yaa? Sini saya kasih tandatangan."
Kadang saya langsung tertawa setelahnya. Melihat muka orang-orang yang bertanya pada saya jadi merah padam atau malah kehilangan kata-kata. Setidaknya daripada marah-marah dan mengambil energi negatif dari mereka, saya lebih baik tertawa dan membiarkan mereka yang kesal sendiri. Lama-kelamaan kebanyakan dari orang-orang ini kapok kepo pada saya. Atau kalau masih ada yang kepo pun, mereka sudah siap dengan jawaban ajaib dari saya.

Jujur sampai sekarang saya tidak mengerti dengan ke-kepo-an orang-orang yang ada di lingkungan sosial saya. Maksud saya begini, apakah mereka tidak merasa terganggu kalau ada orang yang menanyakan hal yang sama pada mereka? Atau mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak punya cukup pengertian dan toleransi untuk bisa menyadari kalau pertanyaan-pertanyaan "sederhana" mereka bisa menyakiti orang?

Tidak semua orang hidup dengan kondisi yang sama. Ketika saya ditanyai kapan nikah, saya tidak punya masalah berat dengan pertanyaan itu. Tapi bagaimana kalau pertanyaan yang sama ditanyakan pada seseorang yang memang sangat ingin menikah, tapi punya masalah yang membuat dia terpaksa harus mengurungkan niatnya? Bagaimana kalau yang ditanya baru saja patah hati ditinggal kekasih? Atau bagaimana kalau yang ditanya baru saja harus membatalkan pernikahannya karena calonnya tiba-tiba meninggal? Apakah pertanyaan kapan nikah masih jadi pertanyaan sederhana yang bisa dijawab sederhana?

Jujur, dari sederet pertanyaan kepo diatas, yang paling mengesalkan bagi saya adalah pertanyaan kapan hamil. Ini jauh lebih mengesalkan dari pertanyaan kapan nikah. Ada sebuah fenomena di Bali, dimana tujuan utama sebuah pernikahan bukanlah kebahagiaan dari kedua orang yang menikah, tapi untuk menghasilkan keturunan. Segera setelah upacara pernikahan, perempuan pasti akan diteror dengan pertanyaan kapan hamil, dari mertua hingga ibu-ibu yang baru bertemu di jalan. Pokoknya semakin cepat hamil dan punya anak semakin baik, semakin lama kamu tidak hamil maka siap-siaplah. Teror yang datang akan semakin banyak. Ini jadi semacam ujian, tapi menurut saya ini adalah penyiksaan.

Kita hidup bukan di dalam sebuah dongeng, dimana mereka yang menikah akan punya anak lalu hidup bahagia selamanya. Ayolah, ini dunia nyata. Setiap orang hidup dengan takdirnya masing-masing, setiap orang punya tubuh yang istimewa, setiap perempuan berhak memutuskan apakah dia mau punya anak atau tidak. Punya anak itu sebuah hak, bukan kewajiban yang bisa dipukul rata. Dan perempuan mana pun tidak punya kewajiban untuk menjawab ke-kepo-an apa pun atas kehamilan atau pun ke-tidak-hamil-annya.

Saya mengenal beberapa orang yang sangat ingin punya anak, namun takdir mereka belum sampai di sana. Banyak diantara yang saya kenal itu melakukan berbagai cara untuk bisa punya anak. Mereka sudah habis-habisan berjuang, habis tenaga dan biaya. Belum lagi beban secara psikologis yang mereka tanggung atas tuntutan-tuntutan lingkungan sosial. Coba pikir, terhadap perempuan-perempuan seperti ini, apakah pertanyaan kapan hamil tidak menambah luka di hatinya?

Saya juga kenal beberapa orang yang dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu menunda untuk punya anak. Entah masalah kesehatan atau finansial, yang jelas mereka punya alasan untuk menunda atau tidak punya anak sekalian. Pada yang seperti ini, pertanyaan kapan hamil juga tidak bisa dijawab dengan sederhana. Lingkungan sosial kita yang mendewakan keturunan pasti akan memberi label pada mereka, atau kasarnya : apa pun alasannya, kamu salah karena tidak mau hamil. Titik.

Tidak berhenti sampai di sana. Ada stigma dimana urusan anak beranak seperti ini seringkali hanya dibebankan pada perempuan. Setidaknya itu yang terjadi di lingkungan saya. Jika sepasang suami istri tak kunjung hamil, maka tersangka utama adalah istri, si perempuan.
"Pasti ada masalah dengan peranakannya, pasti ini, pasti itu, bla bla bla..." ucapan-ucapan semacam itu akan jadi wajar terdengar di kuping si perempuan. Jarang sekali saya menemukan kasus dimana yang jadi tersangka utama adalah laki-laki. Seperti biasa, budaya patriarki yang sudah terlanjur mengakar kuat menjadikan "wajar" apabila perempuan yang salah. Bahkan ada kasus dimana si perempuan dipaksa menjalankan tes ini itu, terapi ini itu, bahkan harus merelakan suaminya selingkuh dan menikah lagi karena tidak bisa menghasilkan keturunan. Sementara sang suami tidak perlu di tes macam-macam karena "sudah pasti normal". Terdengar tidak adil?

Saya, sebagai perempuan, tidak pernah menanyakan pertanyaan-pertanyaan kepo semacam ini kepada perempuan lain. Saya tidak perlu kepo. Karena hidup saya bukan urusan mereka, saya juga menolak untuk mengurusi hidup mereka. Sekali lagi, saya tidak punya kepentingan untuk itu.
Sayangnya, saya masih sering menemukan perempuan-perempuan yang suka menanyakan pertanyaan-pertanyaan beresiko itu kepada perempuan lain. Sebagai basa basi katanya, tapi kebanyakan tanpa menyadari kondisi. Ayolah, sebagai sesama perempuan, apa kita tidak mau sama-sama menghentikan lingkaran pertanyaan kepo tak berujung ini? Anda pasti pernah kesal karena ditanyai ini itu yang tidak berkenan di hati, khan? Lalu kenapa masih melakukan hal yang sama kepada orang lain?

Pertanyaan-pertanyaan semacam kapan nikah, kapan punya anak dan seterusnya bukanlah pertanyaan sederhana macam apa kabar yang bisa dijawab dengan basa basi. Jadi, berhentilah menanyakan pertanyaan-pertanyaan sejenis kepada perempuan lain. Kita tidak pernah tahu kondisi apa yang sedang mereka alami, perjuangan macam apa yang sedang mereka hadapi. Istilahnya, kita tidak berjalan dengan sepatu mereka, jadi kita tidak tahu apa yang mereka rasakan. Tidak menanyakan hal-hal seperti ini tidak akan merugikan kita, samasekali. Menanyakannya malah akan beresiko menyakiti hati seseorang, jadi buat apa dilakukan??? Pentingkah basa-basi semacam ini terus dilestarikan???


*Tulisan ini saya buat untuk semua perempuan di luar sana. Menikah atau tidak, punya anak atau tidak, kalian tetaplah perempuan hebat. Don't let any negativity ruin your life. Be happy. Be You <3 <3 <3

Jumat, 10 Maret 2017

Perempuan Bali : Sulitnya Menjadi Perempuan dalam Budaya Patriarki

unfinished watercolor painting karya penulis


Menjadi perempuan Bali itu sulit.
Ini opini saya, dan juga sebagai besar perempuan Bali yang saya kenal.

Budaya Bali adalah budaya patriarki, dimana lelaki menjadi otoritas utama yang sentral dalam segala bentuk organisasi sosial, termasuk keluarga. Singkatnya para lelaki Bali memiliki keunggulan otoritas dalam berbagai bidang, seperti penentuan garis keturunan patrilineal ekslusif, hak waris, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik, politik atau agama, dan lain-lain.

Apa yang salah dengan budaya patriarki Bali?
Kesetaraan gender adalah sesuatu yang mahal dan langka dalam budaya Bali. Kendati banyak konsep yang mendukung adanya kesetaraan gender dalam budaya Bali, dalam praktiknya di masyarakat yang terjadi tidaklah seideal apa yang disampaikan dalam konsep-konsep tersebut. Konsep Rwa Bhinneda misalnya. Secara garis besar konsep ini mirip dengan Yin Yang, dimana ada dua unsur atau entitas berbeda yang berlawanan, namun tidak bisa saling mengalahkan atau menghilangkan. Yang harus dilakukan adalah menjaga keseimbangan untuk sebuah harmoni. Sebuah konsep yang ideal untuk kesetaraan gender, bukan? Namun yang terjadi di masyarakat Bali justru sebaliknya.

Yang mengesalkan bagi saya sebenarnya bukan budaya Bali, tapi bagaimana konsep patriarki ini dilanggengkan dalam praktek kehidupan sosial masyarakat Bali. Lelaki Bali punya hak-hak istimewa yang sulit untuk bisa disamaratakan dengan hak perempuan Bali. Contoh : seorang perempuan Bali yang menikah akan pindah ke rumah suaminya. Ketika ini terjadi, dalam mayoritas masyarakat Bali perempuan ini dianggap kehilangan hak waris di rumahnya. Sementara di rumah baru, rumah sang suami, perempuan yang sama yang kini menjadi menantu juga tak punya hak waris. Semua hak waris adalah milik suaminya, anak lelaki di keluarga itu. Dan tentu saja kemudian akan menurun ke anak mereka kelak. Ah, satu lagi. Perempuan juga tidak berhak atas hak asuh anak. Jika kelak bercerai atau sang suami meninggal, maka hak asuh anak ada di keluarga suami, bukan pada si perempuan yang melahirkan anak. Mengesalkan?

Permasalahan ini kemudian ditambah dengan persekongkolan para perempuan yang mengambil andil dalam melanggengkan budaya patriarki ini. Saya sering menemukan perempuan Bali yang mendiskreditkan perempuan lain. Seorang nenek bisa mendiskreditkan anak dan cucunya dengan berdalih pada tradisi masa lalu. Seorang mertua juga melakukan hal yang sama pada menantunya, ipar kepada ipar, saudara perempuan yang lebih tua kepada adiknya, dan seterusnya. Begitu terus, seperti lingkaran setan yang tak ada ujungnya.

Contoh sederhana, anggaplah si A baru saja melahirkan anak pertamanya. Maka pertanyaan yang akan muncul dari orang-orang, termasuk nenek, ibu, bibi, kakak perempuan, dan seterusnya, adalah : anaknya perempuan atau lelaki?
Bila anaknya laki-laki, yang keluar pasti ucapan syukur, atau pujian betapa beruntungnya keluarga itu punya keturunan lelaki, betapa bahagianya mereka mendengar kabar itu, dan seterusnya.
Sementara bila anak perempuan?
Kebanyakan yang keluar adalah "Yah... anaknya perempuan ya? Nggak apa-apa, nanti bisa bikin lagi biar dapet anak cowok." Yang kemudian diikuti dengan seabreg tips dan trik bagaimana menghasilkan anak lelaki. Melahirkan seorang anak lelaki adalah berkah, tapi entah kenapa ketika melahirkan anak perempuan, berkah ini lebih terdengar seperti kesialan yang perlu didukung dengan pemberian motivasi dan kata-kata penyemangat, bukannya ucapan selamat.
Dan itu keluar dari mulut perempuan-perempuan Bali juga, yang seharusnya merasakan apa yang perempuan lain rasakan. Nah, yang begini ini lebih mengesalkan, khan?

Budaya patriarki akan terus ada selama masyarakat, dalam hal ini KITA, ikut terus mengkonstruksi dan melanggengkan budaya itu sendiri. Sudah saatnya perempuan-perempuan Bali masa kini menyadari hak dan kewajibannya, memahami apa itu kesetaraan gender dan tentu saja ikut memperjuangkannya. Bukan masalah meninggalkan nilai tradisi budaya. Jangan lupa bahwa budaya adalah hasil konstruksi manusia, yang berkembang seiring dengan perkembangan jaman dan kemampuan penalaran manusia. Budaya bukanlah sebuah nilai pasti yang tidak bisa kita ubah untuk menjadi yang lebih baik. Mau sampai kapan melanggengkan sebuah sistem yang mendiskreditkan perempuan? Sementara kita sendiri menyadari betapa sulitnya menjadi perempuan dalam sistem seperti ini. Apakah kita rela mewariskannya pada anak cucu kita kelak?

Bicara tentang kesetaraan gender bukan bicara soal perempuan untuk menjadi lebih dari lelaki. Rumusnya bukan perempuan > lelaki, tapi perempuan = lelaki. Rumus yang sebenarnya sangat bisa untuk diaplikasikan dalam budaya Bali - atau bahkan sebenarnya sudah ada dalam budaya Bali? ;)