"Kalau kamu sayang pada seseorang, beritahu dia."
"i love you" - karya penulis |
Klise.
Itu mungkin yang ada di kepala saya jika saya membaca kalimat itu sepuluh tahun yang lalu. Ketika saya masih "anak bawang" yang mendewakan novel-novel remaja - yang pada jamannya disebut teenlit - dimana hampir semuanya berakhir dengan cinta yang terbalas, alias si tokoh utama akan jadian dengan cowok yang ditaksir. Siapa pun itu. Entah kakak kelas ganteng, artis idola, bahkan seorang pencuri yang tidak sengaja bersembunyi di kamarmu ketika dikejar-kejar polisi. Endingnya mirip dengan hampir semua dongeng Disney : bahagia selamanya.
Tapi, buat saya yang sekarang, kalimat di atas adalah sebuah kata-kata bijak, sebuah pegangan hidup tepatnya. Pelajaran paling berharga yang memungkinkan saya sampai pada kehidupan saya sekarang : menikah dengan seseorang dan bahagia dengan pilihan saya. Dan semua berkat kenekatan saya "menyatakan cinta". LOL
Ketika masih SMA, saya pernah menyukai seseorang. Sangat. Seperti kebanyakan ABG dan cinta monyetnya, hidup saya saat itu dipenuhi dengan letupan-letupan perasaan bahagia yang tak tergambarkan ketika melihat dia sekedar melintas di depan saya. Absurd, sungguh. Sayangnya, berkat racun-racun teenlit yang dulu saya baca, saya percaya suatu saat nanti takdir akan mempertemukan saya dan dia. Saya dan dia akan jadian. Pasti. Dan berakhirlah saya jadi penggemar rahasia yang tak pernah mengungkapkan perasaan saya padanya selama bertahun-tahun, mengharapkan takdir akan memaksa dia menyadari keberadaan saya dan membuat kami jadian.
Tapi dia tak pernah tahu.
Bertahun-tahun kemudian, saya sudah menjalani hidup sebagai manusia di awal usia dua puluhan. Usia awal kedewasaan mungkin. Saat itu saya masih hidup dengan bayang-bayang cinta monyet. Namanya masih bergantung di kepala saya. Wajahnya, meskipun saya sudah tidak ingat dengan jelas, masih sering muncul dalam mimpi-mimpi saya. Saya merasa saya masih menyukainya. Saya masih terobsesi dengan keberadaannya. Saya masih merasa suatu saat nanti dia akan datang pada saya dan menyatakan cinta. Di waktu yang sama, saya tahu bahwa semuanya tidak akan pernah terjadi. Seketika saya merasa terganggu. Hidup saya jadi tidak normal. Saya tidak bisa menjalin hubungan dengan laki-laki mana pun tanpa momen dimana saya membayangkan dia.
Ada yang salah dengan semua ini.
Ada yang salah dan saya sudah lelah.
Setelah berpikir cukup lama, saya membuat sebuah keputusan besar yang saya pikir bisa menyembuhkan saya. Saya memberanikan diri melakukan satu hal yang saya anggap tabu : menyatakan perasaan saya pada dia - meski sudah terlambar bertahun-tahun.
Well, harus saya akui. Selain teenlit-teenlit itu, saya juga seorang perempuan yang hidup di lingkungan patriarkhi. Artinya saya hidup dengan ajaran "etika" perempuan dan hubungannya dengan laki-laki. Perempuan harus menunggu sampai ada laki-laki yang menghendakinya. Perempuan harus memilih betul-betul laki-laki mana yang akan diterima cintanya, dan harus lihat bibit bebet bobotnya. Perempuan harus bangga jika ada banyak laki-laki yang menghendakinya, dan pilihlah yang terbaik. Serhananya begini : sebisa mungkin jangan menyatakan perasaan lebih dahulu pada laki-laki atau kamu dianggap murahan.
Maka menyatakan perasaan adalah sebuah hal yang jauh membuat saya lebih grogi ketimbang pidato di depan ratusan orang. Wajar, saya butuh ratusan helaan nafas panjang sebelum benar-benar melakukannya.
Ketika itu, saya juga tak punya cukup nyali untuk menyatakan perasaan saya secara langsung. Dia yang sedang berada di pulau yang berbeda menjadi keuntungan tersendiri bagi saya. Saya jadi bisa membenarkan diri saya yang cuma berani menyatakan perasaan saya lewat tulisan. Sebuah keberuntungan sebenarnya.
Maka dikirimlah sebuah email panjang, yang diawali dengan kalimat pembuka berikut : Pahamilah, ini bukan sebuah pernyataan cinta biasa. Saya cuma sedang berusaha berdamai dengan hidup saya.
Saya tidak berbohong. Saat itu saya menyadari bahwa perasaan saya pada dia adalah akumulasi perasaan suka bertahun-tahun yang dipendam, yang malah lebih terasa menyakitkan ketimbang menyenangkan. Waktu yang terlewat juga membuat logika saya lebih bisa dipercaya dibanding perasaan saya. Sudah bertahun-tahun, memang apa yang bisa saya harapkan? Dia mungkin sudah punya hidupnya sendiri dan punya seseorang yang dia sukai. Dan saya menolak untuk melanjutkan peran sebagai penggemar rahasia. Lagipula, saya butuh bangun dari semua ini dan menjalankan kehidupan cinta yang nyata-nyata ada di depan saya.
Email pun terkirim.
Saya was-was. Menunggu jawaban namun sekaligus mengharap agar email saya tak segera dibalas. Tapi sungguh, rasanya lega sekali. Ada beban yang terangkat dari hati saya. Saya belum pernah merasakan kelegaan yang sama seperti saat itu. Semua terasa jauh lebih ringan.
Saya benar, pernyataan perasaan ini bisa membantu saya. Sangat.
Beberapa menit kemudian, saya mendapat jawaban. Dan satu kalimat dari dia yang paling saya ingat adalah :
"Bodoh! Kenapa baru bilang sekarang?"
Jleb!
Coba bayangkan, bagaimana perasaan saya kemudian membaca kalimat itu?
Saya jadi merasa bodoh. Kenapa saya baru bilang? Kenapa saya tidak pernah berpikir untuk melakukan hal ini bertahun-tahun yang lalu?
Dan wow, dia memahami maksud saya dengan baik. No judgement. Samasekali tidak ada penghakiman.
Dia tidak mengganggap saya aneh. Dia tidak mengganggap saya perempuan murahan.
Kenapa saya tidak melakukannya sejak dulu?
Dasar bodoh!
Malam itu berakhir dengan saya yang mengatai-ngatai kebodohan saya sambil tertawa. Saya berdamai dengan hati saya sendiri, dengan pikiran-pikiran dan bayangan-bayangan dia yang saya ciptakan. Saya sembuh dari ketergangguan saya terhadap dia.
Saya fix move on. Bukan dari dia, tapi dari perempuan yang tidak pernah berani menyatakan perasaannya sendiri. Dia kemudian menjelma dari sosok idola menjadi sosok guru yang sudah membantu saya menjadi lebih baik.
Ah, dan membuat saya berhenti jadi perempuan bodoh tentu saja.
Pengalaman ini kemudian sangat membantu dalam kehidupan cinta saya setelahnya.
Saya menolak untuk memendam perasaan saya pada seseorang.
Dan berakhirlah saya pada sosok laki-laki ini : suami saya.
Saya sangat sadar bila saya tidak berubah, saya tidak mungkin bisa bersamanya saat ini. Bila saya masih menjadi perempuan yang diam, hidup saya mungkin tak bahagia seperti sekarang.
Cinta itu butuh diperjuangkan.
Salah satunya dengan menyatakan perasaan.
Memang apa yang rugi dengan menyatakan perasaan?
Perempuan harusnya tak lagi merasa tabu untuk menyatakan perasaannya. Perempuan harus terbebas dari stigma. Bila "menembak" adalah sah bagi laki-laki, kenapa tidak bagi perempuan?
Bukankah cinta adalah hak asasi segala makhluk?